Lihat ke Halaman Asli

Nadya OktariaPutri

Mahasiswi ilmu hukum fakultas hukum Universitas Andalas

Perempuan Menjadi Seorang Hakim, Pantaskah?

Diperbarui: 15 November 2022   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEREMPUAN MENJADI SEORANG HAKIM,PANTASKAH?

Oleh: Nadya Oktaria Putri, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Wanita sangat identik dengan sikapnya yang femini dan lemah lembut.Tidak hanya itu,mahkluk satu ini dikenal sebagai makhluk yang mudah jatuh pada perasaannya atau bahasa gaul sekarang "Baperan".Sehingga hal ini membuat wanita cendrung dibatasi dalam beberapa profesi.Salah satu nya sebagai hakim.

Menurut Pasal 1 ayat(5) UU komisi Yudisial No.22 Tahun 2004"Hakim adalah hakim agung pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah konstitusi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republk Indonesia Tahun 1945".Sedangkan menurut Bambang Waluyo,S.H yang merupakan jaksa muda pembinaan 2013-2018 berpendapat bahwa hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum yang dipundaknya telah diletakan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilah itu ditegakan baik yang berdasarkan tertulis maupun tidak tertulis.Jadi dapat disimpulkan bahwasanya hakim adalah salah satu penegak hukum dalam pengadilan yang dianggap cakap akan hukum yang bertugas menegakan keadilan dalam pengadilan.

Jika kita perhatikan siapa saja yang pernah menjabat sebagai hakim di Indoensia.Maka akan jatuh pada kesimpulan jumlah hakim perempuan di Indonesia masih sangat sedikit.Berdasarkan data Internasional Labour Organization merincikan bahwasanya di pengadilan negeri hanya sekitar 16,2 persen hakim perempuan.Sedangkan di Mahkamah Agung lebih mengerucut lagi yaitu sebesar 15,6 persen hakim perempuan.Faktor penyebab fenomena ini adalah masih tingginya anggapan bahwa  perempuan tidak cocok menjadi hakim ditambah lagi kultur patriatki di Indonesia yang masih sangat kuat.

Indonesia adalah negara hukum.Konsep ini bermakna negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.Perihal problematika pantas atau tidaknya perempuan menjadi hakim ini dapat kita kaitkan dengan beberapa aturan yuridis yang berlaku di Indonesia

Aturan yuridis yang pertama,Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Indonesia 1945(UUD NKRI 1945) Pasal 27 Ayat 1 menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".UUD 1945 yang merupakan landasan dari segalah hukum secara tegas menjelaskan bahwasanya adanya persamaan kedudukan di dalam hukum tanpa memandang gender sekalipun tidak terkecuali posisi sebagai penegak hukum.Hal ini memperkuat tidak ada faktor yang menyebabkan perempuan tidak pantas menduduki kursi kehakiman.

Aturan yuridis yang kedua yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan digagas oleh Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women(CEDAW) tanggal 24 Juli 1984.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 ini menegaskan adanya persamaan hak wanita dengan pria.Konvensi ini juga telah disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada pemerintahan Soeharto.

Aturan yuridis yang ketiga yaitu Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia(HAM).Hak Asasi Manusia adalah hak dasar manusia yang merupakan anugerah dari tuhan yang maha esa sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia yang bersifat universal dan tidak dapat diganggu gugat oleh manusia lainnya.Ada banyak penggolongan hak asasi manusia seperti hak untuk hidup,hal memperoleh keadilan,hak berpendapat,hak turut serta dalam pemerintahan,hak persamaan kedudukan didepan hukum,dsb.Dalam kasus ini dapat kita kaitkan ke dalam hak atas persamaan kedudukan.

Hak atas persamaan kedudukan didepan hukum bermakna semua subjek hukum dipandang sama didepan hukum,tanpa ada pandang bulu.segala peraturan yang ada berlaku untuk siapa saja tanpa memandang gender.Jika,kita kaitkan dalam kasus ini,bermakna siapa saja yang memenuhi kualifikasi menjadi seorang hakim menurut undang-undang baik laki-laki maupun perempuan maka berhak tanpa pengecualian.

Tiga ketentuan yuridis diatas bisa dibilang masih secuil dari hukum yang ada di Indonesia yang menegaskan bahwasanya Indonesia juga membuka kesempatan kepada perempuan untuk menduduki kursi kehakiman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline