Setiap pagi ia mengikuti diam-diam dan perlahan anak-anak berseragam merah-putih menuju sekolah. Membawa sebuah buku tulis lusuh dan pensil jaman bahula yang sering tercecer dari tas butut model jadul yang di cangklongnya. Wajahnya segar dengan pulasan bedak bayi yang cemang-cemong di sana-sini. Berbusana santun kadangkala mengenakan jilbab pasang sederhana, yang tak jarang miring-miring dari letak semestinya.
Jika hari senin ia pun mengikuti upacara bendera. Berdiri tegak dengan sikap hormat menghadap sang saka merah putih. Meski hanya di luar pagar sekolah dasar terdekat rumahnya itu, karena pak kebun penjaga selalu menghalaunya. Maka, pada jam istirahatlah ia tak mau kehilangan kesempatan, ia masuk menyusup ke dalam sekolah. Mengendap-endap. Bersembunyi di sela-sela pohon ketapang dan flamboyan yang pada musim tertentu menggugurkan daun-daunnya yang kering kecoklatan dan kelopak-kelopak merah jingga yang disukainya.
Pada jam belajar setelah istirahat, ia akan mengendap-endap lagi mendekati kelas-kelas. Dengan takjub ia menikmati kelas belajar berlangsung. Menatap tak berkedip pada pengajar di depan kelas dengan rasa kagum. Tersenyum polos dan kadang wajah tanpa dosa itu tertawa, meski tak jelas karena apa. Namun, beberapa kali ia tak bisa menahan diri, tiba-tiba berteriak-teriak histeris dan membaur ke dalam kelas. Dimana kemudian semua murid akan mengguman,
"Ah Marini si ibu guru yang tak jadi, kumat lagi". Disusul kemudian pak kebun penjaga sekolah akan menariknya keluar kelas dengan paksa, dan mengantarkan ke rumahnya sambil ngomel-ngomel kesal.
"Dasar wong ra waras. Keluargane ora jelas. Kumat-kumaten nggarai geger ngerepoti wong sak ndayak."
Di rumahnya, ia akan dikurung oleh adik lelakinya di kamar lembab rumah tua milik mereka. Berteriak-teriak dengan tangisan yang menyayat hati memekakkan telinga. Dan pada sore harinya baru diberi makan setelah lemas tak berdaya. Setelah ibunya yang pikun menangis memohon-mohon pada anak lelakinya untuk tidak memperlakukan kakak perempuannya seperti itu.
Perempuan tua itu pikun. Tetapi tak pernah lupa dua hal : suaminya hilang di suatu malam, lalu di temukan di jurang saksi sejarah pembantaian yang kisahnya kelunturan. Jurang itu di kenal dengan nama jurang tangis, di daerah timur Jawa. Hal kedua yang tak bisa dilupakannya adalah, anak perempuannya yang diperkosa orang-orang tak dikenal saat masih belum genap 9 tahun.
"Marini sangat ingin menjadi guru sejak kecil. Ia bercita-cita hanya satu itu saja tiada yang lainnya. Tetapi masa kanaknya koyak beberapa tahun setelah bapakny hilang" Ibu pikun itu entah sudah ribuan kali bercerita itu pada Bas anak lelakinya.
"Kita sudah pindah rumah jauh dari kampung kelahiran, agar Marini dan kamu jadi orang. Tetapi Marini sudah hampir 50 tahun dan kau sudah 45 tahun tak pernah ada kantor yang menerima kalian kerja. Karena hilangnya bapak adalah kutukan yang menghukum kita seumur hidup" orang pikun itu tak jarang hilang kepikunannya dan mengenang dengan baik semua kisah yang berserak di laci ingatannya.
"Aku sudah tahu mak, berhentilah memberitahuku lagi, sudah ribuan kali mak katakan itu. Bapak dan kakek dituduh anggota kelompok terlarang, maka Marini dan aku tak akan bisa mewujudkan cita-cita. Anak cucu orang yang dituduh anggota kelompok terlarang dihukum tanpa turut melakukan salah. Tak mengerti apa-apa tapi dihukum seumur hidupnya. Berhentilah mak mengingatkanku, aku sudah tahu, aku sudah amat sangat tahu!" lelaki itu Bas, bahkan tak lagi bisa menitikkan airmata.
Ia merasa airmatanya telah habis. Masa kecilnya sering dihujati dikucilkan, hingga dipukuli teman-temannya di kampung halaman. Mak juga sering mengajak anak-anaknya kelaparan karena sinisnya kehidupan. Sebelum mereka berpindah-pindah tempat tinggal. Tetapi, di manapun mereka lari, data sejarah keluarga membuntuti. Ketika itu jauh sebelum masa reformasi.