Pemberitaan tentang kampanye 'Black Lives Matter' sedang marak, dipicu oleh pembunuhan George Floyd- seorang warga Amerika berkulit hitam- oleh polisi setempat. Masyarakat, terutama kelompok anti-rasisme Amerika geram dan melakukan demo besar-besaran. Bahkan tindakan tersebut juga menginspirasi aksi-aksi serupa di berbagai belahan dunia.
Indonesia, juga punya masalah rasisme yang serupa. Sudah bukan barang baru, kita masih bisa menemui orang-orang yang 'gak sengaja' mengolok-olok seseorang yang bermata sipit atau yang berkulit hitam. Orang keturunan Indonesia-Cina, atau yang murni orang Cina tapi besar dan tumbuh di Indonesia, masih dipandang sebelah mata- sebab seringkali masih dikaitkan dengan kerusuhan di tahun 1998.
Sedangkan, orang-orang dari Timur Indonesia, juga sering diolok hanya karena warna kulit dan postur badan yang berbeda dengan mayoritas orang Indonesia. Iya, mayoritas yang saya sebut adalah orang-orang dari pulau Jawa.
Kenapa saya bilang mayoritas orang Indonesia adalah orang Jawa? Bukannya pulau Jawa tidak lebih besar dari Pulau lain seperti Kalimantan dan Papua? Saya mungkin ngawur. Tapi faktanya, pada tahun 2019, Pulau Jawa berkontribusi sebesar 59% terhadap perekonomian nasional. [1] Setidaknya cukup untuk menilai bahwa kegiatan perekonomian saja didominasi orang-orang di pulau Jawa.
Namun, menjadi mayoritas sekalipun, tidak juga membuat kamu hidup nyaman.
Jika kamu seorang perempuan Jawa, tidak lantas menjamin kamu hidup aman.
Masih ada orang yang mendefinisikan cantik hanya dari warna kulit. Brand-brand kosmetik, semuanya lebih memilih model dengan warna kulit cerah dibandingkan gelap. Dengan visualisasi ini, maka pemahaman publik telah terdekonstruksi, bahwa cantik adalah ketika kulitmu cerah seperti model ini. Maka kamu harus membeli produk ini, jika ingin cantik. Bingo. Premis tersusun rapi dan terkunci.
Saya pun pernah mengalami pengalaman buruk hanya karena kulit saya lebih gelap. Waktu itu, saya masih 16 tahun. Seorang paman yang sedang berkunjung ke rumah, tiba-tiba berceloteh. "Awakmu kok wuireng ngene. Arek wedhok kudune putih, cek ayu"(Kamu kok hitam, gini. Anak perempuan harusnya putih, biar cantik).
Tiba-tiba saja keringat dingin keluar dari dahi, jantung saya berdetak tidak karu-karuan. Ada perasaan malu dan kecewa dengan diri saja sendiri. Saat itu, orang tua saya juga hanya diam saja.
Esoknya, saya bertekad menjadi perempuan yang berkulit putih. Diam-diam saya menggunakan cream abal-abalan milik Ibu. Sayangnya, kulit saya justru mengelupas dank arena terlalu keras menggosok ke wajah, justru menyisahkan bekas hitam yang besar di dekat bibir.
Selama setahun, saya hidup dengan wajah berbekas hitam. Membuat saya semakin minder, tak berniat untuk berkawan dan bersosialisasi. Saya terus-menerus ketakutan untuk memperlihatkan wajah saya kepada orang lain.