Lihat ke Halaman Asli

Nadya Ainuna Hanun

Penulis Pemula

R. Soeprapto: Integritas dan Kejujuran dalam Menegakkan Hukum

Diperbarui: 5 Maret 2022   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nama R. Soeprapto mungkin belum terlalu familiar di telinga masyarakat Indonesia. Namun siapa sangka bahwa beliau termasuk ke dalam salah satu tokoh yang patut dijadikan teladan atas jasa-jasa yang telah beliau torehkan semasa hidupnya, terutama dalam ranah penegakan hukum. Nama beliau pun harum dikenang sebagai sosok yang berintegritas dan menjunjung tinggi supremasi hukum, berjajar dengan tokoh lainnya, seperti Bung Karno, Bung Hatta, hingga Ki Hajar Dewantara.

R. Soeprapto lahir pada tanggal 27 Maret 1897 di Trenggalek, Jawa Timur. Beliau lahir di tengah-tengah keluarga R. Hadiwiloyo. Ayahnya adalah seorang Controlleur pajak. Berbeda dengan sang ayah, R. Soeprapto justru memiliki ketertarikan di bidang hukum. Namun, tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Kejaksaan Republik Indonesia ini telah membuktikan kepiawaiannya dalam bidang tersebut.

Sebelum Raden Soeprapto memulai karir  sebagai Hakim di Kejaksaan Agung, ia sempat menunjang pendidikan yang terbilang tinggi, dengan didukung ayahnya yang pernah berprofesi sebagai juru tulis pada asisten wedana di Nganjuk. Pada awalnya ia menempuh pendidikan sampai dengan tamat di HIS (Hollands Inlandse School) dan juga sempat bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Setelah ia lulus dari ELS (Europese Lagere School), Soeprapto berniat untuk melanjutkan pendidikannya di "sekolah hukum" di Batavia (Retchschool), tepatnya di Koningsplein Zuid 10 yang sekarang dikenal sebagai Merdeka Selatan, yang berpusat di Jakarta. Selepasnya Soeprapto menyelesaikan pendidikannya di Restchschool, ia seharusnya dapat mengambil gelarnya sebagai Mr. (Meester In de Rechten, Sarjana Hukum) di Belanda. Namun peluang tersebut tidak ia ambil, lantaran Soeprapto memilih untuk langsung bekerja.

Meski tidak memiliki gelar dan tidak menjalani pendidikan dibangku kuliah secara resmi, R. Soeprapto justru memulai karirnya sejak ia masih belia, yaitu umur 19 tahun. R. Soeprapto mengawali karirnya sebagai Griffier (panitera) di Pengadilan Negeri Tulungagung. Berkat kepiawaiannya dalam bidang hukum, pada tahun 1920, ia diangkat sebagai voorzitter di Landraad Banyuwangi, Singaraja, Bali, dan juga Lombok. Setelah 9 tahun menjabat, R. Soeprapto dipilih untuk menjadi Hakim Anggota sekaligus merangkap sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Tidak sampai situ, berkat keuletan, kegigihan, dan ketegasan beliau, pada bulan Maret tahun 1942 ketika Jepang datang ke Indonesia, R.Soeprapto diutus untuk menjabat sebagai Kepala Pengadilan Karesidenan di Pekalongan.

R. Soeprapto tetap menjalankan jabatannya sebagai kepala pengadilan hingga tahun 1950, hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan memulai memasuki ranah penuntut umum. Hingga pada 20 Juli 1950, Presiden Ir. Soekarno mengangkat jabatan beliau sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Tidak lama setelah lima bulan menjadi Hakim Agung, R. Soeprapto diangkat menjadi Jaksa Agung melalui Keputusan Presiden No. 64 pada 2 Desember 1950. Banyak hal-hal terjadi selama beliau menjabat, salah satunya adalah kasus peradilan Jungschlger dan Schmidt yang ditangkap pada tahun 1954. Kasus inilah yang membuat Jaksa Agung R. Soeprapto harus diberhentikan secara hormat oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 April 1959. Soeprapto dinilai bersalah karena telah memulangkan Schmidt ke negaranya tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. Atas keberanian dan keadilannya, ketika kembali ke Jakarta, Soeprapto menolak hadir di Istana dalam acara serah terima jabatan. Ia tidak bersedia untuk meminta maaf maupun menarik kembali tindakan yang ia yakini benar, baik secara hukum maupun hierarki.

Kendati demikian, selama R. Soeprapto menjabat sebagai Jaksa Agung tahun 1951-1959, banyak sekali prestasi yang beliau raih dan dijadikan contoh positif bagi orang banyak. Selain prestasi, beliau juga memiliki nilai-nilai integritas yang juga patut di contoh orang-orang maupun para hakim agung saat ini. Soeprapto memegang teguh independensi lembaga dan profesinya sesuai dengan undang-undang. Karena itu, dia menolak segala bentuk intervensi dari lembaga eksekutif. Dia juga tak segan mengadili orang-orang yang menyeleweng, sekalipun posisinya setingkat menteri. Soeprapto juga memiliki pandangan bahwa tak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum. Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menggambarkan karakter Soeprapto meski tegas dan tak sungkan berbeda pendapat dengan orang lain ia tetap menaruh hormatnya.

Melihat integritas dan kejujurannya, R. Soeprapto diusulkan sebagai pahlawan nasional dan dijadikan sebagai nama jalan. Selain itu, Soeprapto diangkat sebagai bapak Kejaksaan Republik Indonesia atas jasa dan perjuangannya menjaga citra Kejaksaan. Patungnya kini  berdiri di halaman depan  Kejaksaan Agung Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia juga diangkat sebagai Bapak Kejaksaan Agung berdasarkan Keputusan Kejaksaan Agung RI No. KEP061/DA/7/1967.

Soeprapto dikenal sebagai sosok yang memegang prinsip keberanian, keyakinan, kebenaran dan keadilan dalam penegakan hukum. Ia juga bekerja dengan mengedepankan sikap profesional dan jujur. Nilai dan semangat dari perjuangan Soeprapto begitu melekat di kalangan Jaksa Agung dan beliau juga selalu hidup. Beberapa orang berpendapat tentang Soeprapto perlu dihidupkan kembali dalam tindakan keseharian penegak hukum masa ini. Di tengah karut-marut dan rusaknya lembaga penegak hukum sekarang, kehadiran Soeprapto pasti akan sangat penting untuk kebutuhan kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline