Lihat ke Halaman Asli

Pemahaman Hukum Waris Islam terhadap Anak Sambung

Diperbarui: 2 Januari 2025   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar; https://sl.bing.net/f9gM80f7xN6

Pemahaman Hukum Waris Islam terhadap Anak Sambung

Oleh: Nadya Salsabila dan Ad’nin Zulkhairani

Hukum waris di Indonesia terbagi menjadi 3 yakni, Hukum waris islam, hukum waris

adat, dan hukum waris perdata. Yang akan kita bahas disini pembagian hukum waris menurut hukum islam.

Artikel ini membahas pemahaman hukum waris Islam terkait anak sambung. Dalam konteks hukum waris Islam, anak sambung sering kali menjadi isu yang kompleks, terutama dalam hal hak-hak waris. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana hukum waris Islam memandang anak sambung dan implikasinya terhadap pembagian harta waris, maka akan kita bahas bersama-sama sebagai berikut.

A. Pengertian Hak Waris

Kata  waris  berasal  dari  bahasa  Arab   ورث-يرث-ورثا yang  berarti  mewarisi  harta  pusaka. Orang  yang  meninggalkan  harta waris disebut dengan مورث yang menerima harta  waris  disebut وارث, sedangkan  harta warisannya disebut ميراث. Waris  menurut  istilah adalah berpindahnya  hak  milik  dari  mayit kepada   ahli   warisnya  yang   hidup, baik yang  ditinggalkan  itu  berupa harta yang bergerak atau pun yang tidak bergerak,  hak-hak,  dan  yang  lainnya. Faraidh secara  syariat adalah  bagian  yang  ditentukan  untuk  ahli waris  disebut  pula untuk  suatu  penamaan ilmu yakni ilmu Faraidh atau ilmu Waris. 

  1. Pewaris.

Pengertian pewaris menurut hukum islam didasarkan pada buku II komplikasi hukum islam tepatnya Pasal 171 huruf (b) yang menerangkan “pewaris ialah orang yang ketika meninggalnya atau dinyatakan sudah meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam, meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Artinya terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seorang pewaris yaitu beragama islam, adanya orang-orang yang mewarisi dan harta yang ditinggalkan. Jadi keberadaan pewaris diakui apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi. Seorang pewaris harus benar-benar dinyatakan sudah meninggal dunia, baik itu secara haqiqi, hukumnya maupun taqdiry. 

يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِۗ اِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ

 وَهُوَيَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَۗ

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline