Lihat ke Halaman Asli

Nadya Putri

Freelancer

Tabir Penipuan

Diperbarui: 20 Oktober 2024   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Tabir Penipuan, sumber: Pixabay)

Salma menerima ajakan Dimas dengan antusias, bersemangat bertemu keluarga pacarnya di kampung halamannya yang terpencil. Perjalanan dari kota itu panjang dan berliku. Saat mereka berkendara di sepanjang jalan yang berkelok-kelok dan diselimuti kabut, pegunungan mengelilingi mereka, mengesankan, saat matahari memudar ke dalam bayang-bayang. Dimas, yang biasanya banyak bicara, nyaris tidak menjawab pertanyaan mereka.

Kenapa kamu tidak bercerita banyak tentang keluargamu? Salma bersikeras, mengamati profil serius pacarnya dari sudut matanya.

"Itu...sedikit tradisional, itu saja," jawabnya, pandangannya tertuju ke jalan. Salma merasakan perutnya mual, namun dia menghibur dirinya sendiri dengan memikirkan tentang kehidupan yang mereka bayangkan bersama. Mungkin itu hanya rasa gugup. Segalanya akan lebih baik setelah mereka mencapai kampung halaman kekasihnya.

Kota itu tiba-tiba muncul di tengah kabut, seperti hantu yang muncul dari perbukitan. Rumah-rumah, dengan dinding bernoda dan atap miring, tampak runtuh karena beban waktu. Jalanan yang sepi dan ditumbuhi ilalang memberikan kesan bahwa tempat itu terjebak dalam senja abadi. Kelembaban yang kental menyelimuti segalanya, membuat pernapasan menjadi sulit.

“Selamat datang di kampung halaman ku,” sapa Dimas sambil tersenyum kaku, saat mereka parkir di depan sebuah rumah tua. Dindingnya, yang menghitam karena jamur, berdiri megah, dikelilingi taman yang terabaikan. Salma merasakan hawa dingin ketika dia berjalan melewati pintu dan melihat foto-foto yang menutupi dinding lorong. Potret hitam putih pria dan wanita dari generasi lampau, semuanya dengan tatapan kosong yang sama mengikuti setiap langkahnya.

Keluarga Dimas menerimanya dengan sikap dingin yang sopan. Mereka hampir tidak berbicara, dan ketika mereka berbicara, kata-kata mereka hanya bersuku kata satu disertai dengan tatapan yang mengungkapkan lebih dari yang dapat dipahami Salma. Terlepas dari penjelasan Dimas mengenai adat istiadat tempat tersebut, Salma tidak dapat mengabaikan perasaan tidak pada tempatnya, seolah-olah ada bayangan yang mengelilinginya setiap saat.

Malam-malam di rumah sangat mengganggu. Angin masuk melalui jendela dan pintu, membuat dinding berderit dan bayangan tampak bergerak menyusuri lorong. Suatu pagi, Salma bangun dan menyadari bahwa Dimas tidak ada disisinya. Kegelapan ruangan menekannya, dan ketakutan yang tidak masuk akal mendorongnya untuk mencarinya. Saat turun ke lantai satu, dia melihat pintu setengah terbuka yang menuju ke ruang bawah tanah. Dia mendekat, menahan napas, dan mendengar bisikan dan semacam nyanyian.

Dari ambang pintu, ia melihat kerabat Dimas berkumpul di sekitar sosok berkerudung. Adegan itu membuat perutnya mual. Dia mundur diam-diam, kembali ke tempat tidur dengan jantung yang hampir meledak. Dia berpura-pura tidur ketika Dimas kembali, merasakan nafasnya yang sesak dan kulitnya yang dingin saat dia berbaring di sampingnya.

Keesokan paginya, Salma bersikeras untuk membicarakan apa yang telah dilihatnya, namun Dimas mengabaikannya, menjaga jarak yang tidak ada di antara mereka sebelumnya. Malam itu, dia menghilang lagi. Saat dia bertanya kepada anggota keluarganya, dia hanya mendapat jawaban mengelak.

Dia pergi ke hutan Leluhur Mija, untuk bersiap. Jangan khawatir. “Semuanya berjalan sebagaimana mestinya,” kata Bibi Renata sambil menyerahkan jubah putih kepadanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline