Lihat ke Halaman Asli

Nadya Putri

Freelancer

Sudut Terakhir dari Terlupakan

Diperbarui: 15 Oktober 2024   20:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kurcaci, sumber: Pixabay)

Di sebuah kota yang terlupakan oleh waktu, hiduplah seorang lelaki kecil, yang karena tinggi badannya dikutuk dalam kehidupan yang penuh kesengsaraan dan kesepian. Namanya Muklas, tapi tidak ada yang memanggilnya seperti itu. Bagi penduduk kota, dia tidak lebih dari "si kurcaci", sebuah penyimpangan yang ada di antara mereka, sebuah pengingat akan apa yang tidak mereka pahami dan takuti. Mereka melemparkan batu ke arahnya, mereka menghindarinya seolah-olah dia membawa wabah, dan tawa kejam mereka pun terdengar ketika dia melewati alun-alun pasar.

Dia tinggal di sebuah gubuk di pinggiran kota, sebuah tempat yang sangat kecil dan bobrok sehingga tampak seperti lelucon takdir yang kejam. Sejak kecil mereka memperlakukannya seolah-olah dia sakit, ada yang mengumpat. Mereka mengatakan bahwa sosoknya yang tidak proporsional adalah akibat dari dosa orang tuanya, dan mereka mengisolasinya, jauh dari kontak manusia, seolah-olah keberadaannya dapat mencemari orang lain. Anak-anak mengejarnya, memanggilnya monster, dan orang dewasa memandangnya dengan jijik.

Hidupnya adalah siklus kelaparan, kedinginan, dan kesakitan yang tiada akhir. Setiap malam, Muklas memandang ke luar satu-satunya jendela gubuknya, mengamati lampu-lampu kota, rindu menjadi bagian dari sesuatu, seseorang, namun mengetahui bahwa ia tidak akan pernah diterima. Hatinya dipenuhi kesedihan yang perlahan menghabisinya, seperti racun yang tak bisa lepas.

Musim dingin tiba, lebih parah dari sebelumnya, menutupi kota dengan selimut salju. Muklas dengan tubuh rapuhnya tidak tahan dengan hawa dingin. Toko-toko di kota menutup pintunya untuknya, dan ketika dia mencoba membeli kayu bakar, mereka mengusirnya seolah-olah dia adalah seekor anjing liar. “Kami tidak menginginkan uang Anda,” kata mereka sambil tertawa ketika dia pergi dengan tangan kosong.

Dengan angin sedingin es yang menusuk kulitnya, Muklas kembali ke gubuknya sambil menggigil. Malam itu, dia meringkuk di lantai, terbungkus kain yang hampir tidak menutupi tubuhnya, merasakan hawa dingin menembus tulangnya. Ia mencoba untuk tidur, namun tawa anak-anak desa bergema di benaknya, bercampur dengan kata-kata kejam yang dilontarkan kepadanya sepanjang hidupnya. Dan di dadanya, rasa sakit karena kesepian lebih kuat dari angin musim dingin mana pun.

Hari-hari berlalu, dan hawa dingin semakin parah. Muklas tahu dia tidak punya banyak waktu lagi. Tubuhnya tidak tahan lagi, dan setiap kali dia bernapas, dia merasakan hidupnya perlahan menjauh darinya. Suatu malam, dalam upaya terakhirnya untuk mendapatkan kehangatan, dia membakar tumpukan kertas tua. Nyala api menyinari gubuk kecil itu, namun cahayanya tidak memberinya kenyamanan. Di dalam hatinya, hanya tersisa kegelapan yang dalam dan tak terhindarkan.

Saat api menari-nari, Muklas teringat cerita yang diceritakan ibunya ketika dia masih kecil, sebelum kota meminggirkan mereka berdua. Cerita tentang makhluk gaib, tentang tempat di mana tak seorang pun ditolak. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, air mata mengalir di pipinya. Dia tidak menangis karena kedinginan atau kelaparan. Dia menangis karena dia tahu tempat-tempat itu tidak ada untuknya.

Keesokan paginya, penduduk desa menemukan gubuk yang hangus. Di dalam, ada Muklas, meringkuk di sudut, tak bergerak. Tubuh kecilnya tampak semakin kecil, terbungkus sisa-sisa kain gombalnya. Tidak ada yang menangis untuknya, tidak ada yang menyesalinya. Dengan berbisik, dikatakan bahwa akhirnya, “kurcaci terkutuk” itu telah mati. Bahkan ada yang menganggapnya melegakan.

Namun di udara, ada sesuatu yang berubah. Orang-orang, yang membenci dan menganiaya Muklas, mulai merasakan ketidakhadirannya dengan cara yang tidak dapat mereka jelaskan. Setiap sudut, setiap jalan, tampak lebih gelap. Anak-anak berhenti bermain di jalanan, dan hawa dingin tidak pernah hilang sama sekali. Mereka tidak mengetahuinya, namun kesedihan Muklas, rasa sakitnya, kesepiannya, telah merasuki setiap batu di kota, mengutuk mereka selamanya.

Karena di sudut terakhir terlupakan, dimana tak seorangpun berkenan melihatnya, seorang lelaki kecil telah meninggal, membawa serta beban kebencian yang ditimpakan orang-orang padanya. Dan dalam kepergiannya, dia meninggalkan bayangan yang tidak akan pernah meninggalkan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline