Tania lahir pada suatu pagi musim dingin, di sebuah desa kecil yang terlupakan oleh waktu. Sejak dia membuka matanya, hidupnya ditandai dengan penolakan. Tubuhnya yang cacat dan bengkok tidak seperti anak-anak lainnya. Ibunya, Lusi, memandangnya dengan cinta tanpa syarat, namun para dokter dan bidan yang merawat kelahirannya membuang muka, tidak mampu menyembunyikan kengerian yang ditimbulkan oleh kemunculannya pada mereka. Mulut-mulut membisikkan yang terburuk: "Hukuman ilahi", "Penyimpangan", "Buah kutukan".
Sejak nafas pertamanya, kehidupan Tania penuh perjuangan. Sementara anak-anak lain berlari dan bermain di ladang, dia terkurung dalam bayang-bayang rumahnya. Lusi merawatnya dengan penuh pengabdian, namun beban masyarakat sangat berat. Para tetangga menghindari mendekat, saling bergumam dan, kadang-kadang, bahkan melemparkan batu ke jendela rumah mereka. "Monster itu," mereka memanggilnya.
Saat ia tumbuh dewasa, Tania memahami bahwa penampilannyalah yang membuat orang menjauh. Kakinya lemah dan bengkok, wajahnya sangat asimetris, dan punggungnya melengkung sehingga sulit baginya untuk berjalan. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah tubuhnya, tapi keterasingannya, cara semua orang memandangnya sebagai sesuatu yang tidak layak untuk dicintai atau disayangi.
Diam-diam, Tania menerima nasibnya. Ibunya selalu mengatakan kepadanya: "Nak, kamu lebih dari apa yang terlihat. Hatimu adalah yang terpenting." Meskipun kata-kata itu membuatnya terhibur, dia juga tahu bahwa dunia tidak sependapat dengan kata-kata itu. Selama bertahun-tahun, dia menjauh dari pandangan desa, hidup dalam bayang-bayang rumahnya, membantu ibunya dengan cara apa pun yang dia bisa. Lusi adalah satu-satunya sumber kegembiraannya, satu-satunya orang yang melihatnya melampaui keburukannya, yang mencintainya tanpa syarat
Tapi takdir tidak mau berbelas kasihan. Ketika Tania baru berusia dua puluh tahun, ibunya jatuh sakit parah. Itu adalah penyakit yang lambat, namun tidak ada hentinya. Setiap hari, Lusi semakin lemah, dan Tania, yang putus asa, berusaha melakukan hal yang mustahil untuk menyelamatkannya. Dia tidak mempunyai sarana untuk membawanya ke dokter di kota, dan penduduk desa, yang tidak pernah mengulurkan tangan kepadanya, terus mengabaikan permintaannya. Mereka mengolok-oloknya, mengusirnya dengan hinaan, takut mendekati rumah mereka.
Tania bekerja siang dan malam, mengumpulkan tanaman obat, menyiapkan pengobatan rumahan yang telah ia pelajari dari buku-buku tua yang berdebu. Dia akan berjalan jauh melewati hutan, dengan badannya yang pegal-pegal, mencari apa saja yang bisa menenangkan ibunya. Dan meskipun kesehatannya juga mulai menurun akibat usaha tersebut, dia tidak pernah berhenti berusaha.
Suatu malam, ketika ibunya sedang tidur, Tania berlutut di sampingnya dan menangis. Dia tahu bahwa akhir hidupnya sudah dekat, dan tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuknya. "Ibu," bisiknya di sela-sela air matanya, "maafkan aku. Aku tidak bisa menyelamatkan ibu." Lusi, lemah namun masih sadar, membuka matanya dan meraih tangannya. "Anakku," katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar, "kamu telah menjadi anugerah terbesarku. Jangan pernah merasa bersalah atas apa yang tidak bisa kamu ubah. Cintaku padamu lebih kuat dari rasa sakit apa pun."
Lusi meninggal pada malam yang sama, dan Tania, yang kesakitan, terdiam. Tidak ada alasan untuk terus berjuang. Dia benar-benar mengasingkan diri, membiarkan dunia luar melupakannya.
Tidak lama kemudian penduduk desa menyadari ketidakhadiran Tania dan ibunya. Rumor menyebar dengan cepat, dan suatu hari, sekelompok orang yang penasaran datang ke rumahnya. Mereka menemukannya di kamar kecilnya, di samping tempat tidur ibunya, sudah meninggal. Tubuhnya, yang telah sangat menderita dalam hidup, tampak semakin rapuh dalam kematian. Di sebelahnya ada sisa-sisa pengobatan yang telah dia coba persiapkan untuk menyelamatkan Lusi, dan sebuah surat lama yang tidak pernah dia sampaikan, dimana dia memohon bantuan untuk ibunya.
Penduduk desa, pada awalnya, tidak menunjukkan apa-apa selain ketidakpedulian. Namun salah satu dari mereka, seorang lelaki tua yang mengenal Lusi ketika dia masih muda, menemukan buku harian tersembunyi di sudut ruangan. Setelah membacanya, mereka menemukan kebenaran yang tidak diketahui siapa pun: Tania dilahirkan cacat karena kecelakaan saat melahirkan, sebuah kesalahan medis yang telah menandai dirinya selamanya. Namun yang paling mengejutkan adalah, meskipun diejek, ditolak, dan dihina, Tania menghabiskan hidupnya berusaha merawat ibunya, mengorbankan segalanya demi menyelamatkan ibunya, bahkan ketika dia tahu bahwa dunia telah berpaling darinya.