Lihat ke Halaman Asli

Nadya Putri

Freelancer

Ironisnya antara Kesepakatan dengan Ketidaksepakatan

Diperbarui: 14 Agustus 2024   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi seseorang dengan pikirannya, sumber: Freepik)

Di era yang ditandai dengan akses informasi dan komunikasi global yang belum pernah terjadi sebelumnya, orang mungkin berasumsi bahwa dunia akan lebih mudah menemukan titik temu. Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya: semakin kita terhubung, semakin besar pula perpecahan pendapat kita. Seolah-olah kita semua hidup dalam ruang gema kita masing-masing, di mana satu kebenaran universal adalah bahwa tidak ada seorang pun yang bisa sepakat dalam hal apa pun.

Era informasi dan disinformasi kita hidup di era informasi, dimana fakta dan opini hanya berjarak satu klik saja. Namun, akses terhadap data dalam jumlah besar belum tentu menghasilkan konsensus yang lebih besar. Faktanya, hal ini tampaknya telah memperburuk perpecahan di antara kita. Setiap topik, baik itu perubahan iklim, ideologi politik, atau bahkan cara terbaik untuk membuat secangkir kopi, terdapat banyak sekali perspektif, masing-masing didukung oleh serangkaian "fakta" atau interpretasinya sendiri. 

Internet, yang awalnya digembar-gemborkan sebagai alat penyeimbang yang hebat, malah menjadi tempat berkembang biaknya disinformasi dan misinformasi. Algoritma memberi kita konten yang memperkuat keyakinan kita saat ini, menciptakan gelembung di mana kita hanya melihat apa yang sudah kita sepakati. Efek ruang gema digital ini memperkuat perpecahan, ketika kita semakin mengakar dalam sudut pandang kita, yakin bahwa "pihak lain" tidak mendapat informasi atau, lebih buruk lagi, salah besar. 

Paradoks polarisasi perbedaan pendapat ini sering digambarkan sebagai polarisasi, sebuah istilah yang semakin lazim dalam diskusi mengenai masyarakat modern. Polarisasi mengacu pada proses dimana opini publik terpecah dan menjadi ekstrim. Ketika jalan tengah menyusut, maka kemungkinan untuk berkompromi atau saling memahami pun berkurang. Debat politik, yang dulunya merupakan forum wacana konstruktif, telah menjadi medan pertempuran yang tujuannya adalah untuk menang, bukan untuk memahami.

((Ilustrasi seseorang dengan pikirannya, sumber: Pixabay)

Polarisasi ini bukan sekedar fenomena politik. Hal ini meluas ke setiap aspek kehidupan, mulai dari preferensi budaya hingga perdebatan ilmiah. Ungkapan "setuju untuk tidak setuju" sering kali dilontarkan, namun lebih sering daripada tidak, ungkapan tersebut terasa seperti plester untuk luka perpecahan yang lebih dalam. Kita dengan cepat menjuluki orang-orang yang tidak sependapat dengan kita sebagai "orang lain", karena kita tidak melihat sisi kemanusiaan dari sudut pandang mereka. 

Psikologi di balik ketidaksepakatan, mengapa begitu sulit bagi kita untuk sepakat? Jawabannya sebagian terletak pada psikologi. Manusia pada dasarnya memiliki bias, dan bias ini membentuk cara kita memandang informasi. Bias konfirmasi, kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang menegaskan keyakinan kita yang sudah ada sebelumnya, memainkan peran penting dalam cara kita membentuk opini. 

Begitu kita sudah mengambil keputusan, akan sulit untuk mengubahnya, bahkan jika dihadapkan pada bukti-bukti yang kontradiktif. Selain itu, disonansi kognitif---ketidaknyamanan yang dialami saat menganut dua keyakinan yang bertentangan---dapat menyebabkan orang menggandakan pandangan mereka alih-alih mengevaluasinya kembali. Konten internet yang luas dan beragam memungkinkan kita menemukan bukti untuk mendukung pendirian apa pun, tidak peduli seberapa anehnya, sehingga mempermudah penyelesaian disonansi dengan menolak informasi yang bertentangan daripada menyesuaikan keyakinan kita. 

Pencarian persamaan mengingat latar belakang ini, adakah harapan untuk menemukan titik temu? Jawabannya mungkin terletak pada penerimaan terhadap hal yang memisahkan kita: perbedaan-perbedaan kita. Menyadari bahwa perselisihan adalah bagian alami dari pengalaman manusia dan menyikapinya dengan rasa ingin tahu, bukan rasa permusuhan, bisa menjadi langkah pertama untuk menjembatani kesenjangan tersebut.

Dialog, empati, dan kesediaan untuk mendengarkan tanpa niat untuk merespons atau membujuk dapat membantu kita melihat nilai dalam berbagai perspektif. Selain itu, kita harus menumbuhkan lingkungan yang mendorong pemikiran kritis dan literasi media. Dengan melengkapi diri kita dengan alat untuk menganalisis dan mempertanyakan informasi yang kita konsumsi, kita dapat mulai membongkar ruang gema yang membuat kita terpecah belah. Hal ini tidak berarti kita akan selalu setuju, namun hal ini dapat mengarah pada pertukaran ide yang lebih saling menghormati. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline