Di era yang ditandai dengan akses informasi dan komunikasi global yang belum pernah terjadi sebelumnya, orang mungkin berasumsi bahwa dunia akan lebih mudah menemukan titik temu. Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya: semakin kita terhubung, semakin besar pula perpecahan pendapat kita.
Seolah-olah kita semua hidup dalam ruang gema kita masing-masing, di mana satu kebenaran universal adalah bahwa tidak ada seorang pun yang bisa sepakat dalam hal apa pun.
Era informasi dan disinformasi kita hidup di era informasi, dimana fakta dan opini hanya berjarak satu klik saja. Namun, akses terhadap data dalam jumlah besar belum tentu menghasilkan konsensus yang lebih besar.
Faktanya, hal ini tampaknya telah memperburuk perpecahan di antara kita. Setiap topik, baik itu perubahan iklim, ideologi politik, atau bahkan cara terbaik untuk membuat secangkir kopi, terdapat banyak sekali perspektif, masing-masing didukung oleh serangkaian "fakta" atau interpretasinya sendiri.
Internet, yang awalnya digembar-gemborkan sebagai alat penyeimbang yang hebat, malah menjadi tempat berkembang biaknya disinformasi dan misinformasi. Algoritma memberi kita konten yang memperkuat keyakinan kita saat ini, menciptakan gelembung di mana kita hanya melihat apa yang sudah kita sepakati.
Efek ruang gema digital ini memperkuat perpecahan, ketika kita semakin mengakar dalam sudut pandang kita, yakin bahwa "pihak lain" tidak mendapat informasi atau, lebih buruk lagi, salah besar.
Paradoks polarisasi perbedaan pendapat ini sering digambarkan sebagai polarisasi, sebuah istilah yang semakin lazim dalam diskusi mengenai masyarakat modern.
Polarisasi mengacu pada proses dimana opini publik terpecah dan menjadi ekstrim. Ketika jalan tengah menyusut, maka kemungkinan untuk berkompromi atau saling memahami pun berkurang.
Debat politik, yang dulunya merupakan forum wacana konstruktif, telah menjadi medan pertempuran yang tujuannya adalah untuk menang, bukan untuk memahami.