Lihat ke Halaman Asli

Nadya Putri

Freelancer

Socrates, Apa yang Menyebabkan Filsuf Yunani Ini Dijatuhi Hukuman Mati

Diperbarui: 10 Agustus 2024   06:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Socrates, sumber: Pixabay)

Sosok Socrates, salah satu filsuf terbesar Yunani kuno, selalu menjadi objek daya tarik dan kontroversi. Kehidupan dan karyanya meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam filsafat Barat, namun juga berakhir tragis. Apa yang menyebabkan orang bijak ini, yang berdedikasi dalam mencari kebenaran dan mempertanyakan nilai-nilai yang sudah mapan, dijatuhi hukuman mati oleh sesama warganya?.

Lahir di Athena sekitar tahun 470 SM, Socrates tidak meninggalkan tulisannya sendiri, dan semua yang kita ketahui tentang dia berasal dari karya murid-muridnya, terutama Plato dan Xenophon. Socrates dibedakan oleh metode dialektisnya, yang terdiri dari mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam untuk merangsang pemikiran kritis dan mengungkap ketidaktahuan. Pendekatan ini, yang dikenal dengan nama "maieutics," membawanya mempertanyakan keyakinan dan pendapat orang-orang sezamannya, termasuk orang-orang yang berkuasa dan mengaku bijak.

Athena di bawah pemerintahan Socrates adalah kota yang dinamis, tetapi juga tidak stabil secara politik, ditandai dengan peperangan dan perselisihan internal. Dalam konteks ini, Socrates menjadi terkenal tidak hanya karena ajarannya, tetapi juga karena kritiknya yang blak-blakan terhadap demokrasi Athena. Ia percaya bahwa pemerintahan harus berada di tangan orang-orang bijak dan bukan massa, yang membuatnya mendapatkan banyak musuh di kalangan politisi dan elit kota.

Pengadilan Socrates pada tahun 399 SM. Itu adalah peristiwa yang penuh ketegangan dan simbolisme. Dia dituduh merusak generasi muda dan memperkenalkan dewa-dewa baru, sehingga menjauhkan dirinya dari dewa-dewa tradisional Athena. Para penuduhnya, termasuk Meletus, Anytus, dan Lycon, melihatnya sebagai ancaman terhadap ketertiban dan moralitas masyarakat. Socrates, dalam pembelaannya, tidak berusaha untuk menarik belas kasihan para hakimnya; Sebaliknya, ia mempertahankan pendiriannya yang tegas dan menantang, dengan alasan bahwa karya filosofisnya adalah pengabdian kepada Tuhan dan bahwa ia lebih baik mati daripada meninggalkan misinya mencari kebenaran.

Hukuman mati diputuskan dengan selisih suara yang tipis. Eksekusi dilakukan dengan menelan hemlock, racun yang mematikan. Plato, dalam dialognya "Phaedo", menceritakan saat-saat terakhir Socrates, menyoroti ketenangan dan ketentramannya dalam menghadapi kematian, menegaskan kembali keyakinannya pada keabadian jiwa dan keadilan ilahi.

Kecaman dan kematian Socrates tidak membungkam pikirannya. Sebaliknya, kemartirannya mengubah ajarannya menjadi warisan abadi yang terus mempengaruhi para filsuf dan pemikir selama berabad-abad. Kehidupan dan kematiannya melambangkan perjuangan kebebasan berpikir dan keberanian menghadapi ketidakadilan, menjadi teladan bagi generasi mendatang.

Nasib Socrates menimbulkan pertanyaan mendalam tentang hubungan antara individu dan masyarakat, keadilan dan kebenaran. Apakah hukuman yang dijatuhkan kepadanya merupakan sebuah tindakan keadilan untuk melindungi ketertiban sosial, atau sebuah ketidakadilan yang berusaha membungkam suara yang tidak nyaman namun perlu? Kisah Socrates mengajak kita untuk merenungkan kekuatan berpikir kritis dan harga yang terkadang harus dibayar untuk tetap setia pada kebenaran.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline