Lihat ke Halaman Asli

Nadya Putri

Freelancer

Narasi Kematian Julius Caesar yang Mengubah Takdir Roma

Diperbarui: 29 Juli 2024   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Julius Caesar, sumber: iStock)

Pembunuhan Julius Caesar, yang terjadi pada Ides of March pada tahun 44 SM, adalah salah satu peristiwa paling menarik dan dramatis dalam sejarah kuno. Kisah ini dimulai dengan kebangkitan Caesar, seorang pemimpin militer dan politik Romawi yang ambisi dan kemampuannya membawanya ke puncak kekuasaan di Roma. Namun, kekuasaannya yang semakin besar menimbulkan ketakutan dan kebencian di antara beberapa anggota paling berpengaruh di Republik Romawi, yang pada akhirnya menyebabkan akhir yang tragis.

Caesar, lahir dalam gens Julia, keluarga bangsawan dari garis keturunan kuno, memulai karirnya di bawah bayang-bayang perang saudara yang melanda Roma. Kebangkitannya sangat pesat dan, setelah serangkaian kampanye militer yang sukses, khususnya di Gaul, ia kembali ke Roma tidak hanya sebagai pahlawan, tetapi juga sebagai ancaman terhadap keseimbangan kekuatan. Pengangkatannya sebagai diktator abadi pada tahun 44 SM. Ini adalah titik balik yang membuat khawatir banyak senator, yang melihatnya sebagai calon raja, sesuatu yang dikutuk oleh Republik.

Di antara para konspirator terdapat tokoh-tokoh seperti Cassius dan Brutus, orang-orang yang pernah menjadi sekutu Kaisar tetapi kini memandang pembunuhannya sebagai satu-satunya cara untuk memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan republik. Misteri mulai menyelimuti motivasi dan kesetiaan orang-orang ini. Apakah tindakannya didorong oleh idealisme Partai Republik atau karena rasa iri dan ambisi pribadi? Sosok Brutus, khususnya, penuh teka-teki, diadopsi oleh Caesar dan dianggap hampir seperti seorang putra.

(Julius Caesar, sumber: iStock)

Perencanaan pembunuhan itu diselimuti rahasia dan konspirasi. Para konspirator harus bertindak dengan hati-hati, karena Caesar tidak hanya sangat populer di kalangan masyarakat, tetapi juga ditakuti karena kelicikan dan keterampilan politiknya. Pemilihan Ides of March untuk pembunuhan tersebut bukanlah suatu kebetulan, melainkan perhitungan politik, sebuah pesan yang dienkripsi dalam waktu.

Pada hari pembunuhan, Caesar diperingatkan tentang pertanda dan pertanda. Istrinya, Calpurnia, memimpikan kematiannya, dan seorang peramal telah memperingatkannya untuk menjaga hidupnya hingga Ides bulan Maret. Namun, Caesar, entah karena keberanian atau fatalisme, memutuskan untuk mengabaikan peringatan ini dan berbicara kepada Senat. Di sana, dikelilingi senator, dia ditikam sebanyak 23 kali. Ungkapan terakhirnya, "Kamu juga, Brutus, anakku?", bergema selama berabad-abad sebagai lambang pengkhianatan.

(Julius Caesar, sumber: iStock)


Pembunuhan itu tidak membawa perdamaian atau kembalinya Republik seperti yang diharapkan para konspirator. Sebaliknya, hal ini memicu serangkaian perang saudara yang akhirnya mengarah pada berdirinya Kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan Augustus, keponakan angkat Caesar. Warisan Caesar dan keadaan kematiannya terus menjadi topik yang menarik dan diperdebatkan. Apakah pembunuhannya merupakan upaya terakhir Republik yang sedang sekarat untuk menyelamatkan diri atau sekadar tindakan pengkhianatan dan rasa iri? Kisah Julius Caesar dan akhir hidupnya yang tiba-tiba masih menjadi teka-teki, babak yang kelam dan kompleks dalam sejarah Roma yang panjang dan penuh gejolak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline