Lihat ke Halaman Asli

Penghinaan terhadap Presiden Dapat Dipidana! (Pasal 218 RUU KUHP)

Diperbarui: 16 Juni 2022   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pasal 218 RUU KUHP ayat 1 "setiap orang yang dimuka umum menyerang kehormatan harkat martabat seorang presiden dan wakil presiden dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau denda paling banyak dalam kategori 4.
Pada ayat 2 "tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri"

Dari pasal tersebut perlu adanya penjelasan tentang bagaimana maksud dari kepentingan umum, pembelaan diri dan juga bagaimana yang dinilai oleh masyarakat umum yang bertentangan dengan keputusan MK.

Masyarakat mengatakan mengapa masih ada poin seperti ini ataupun pasal seperti ini yang kemudian bertentangan dengan keputusan MK?


Pada periode lalu DPR membahas dalam hal ini panja RUU KUHP, Panja DPR RI dan panja pemerintah, perdebatannya juga cukup panjang apakah pasal-pasal yang terkait dengan penghinaan kepada Presiden ini akan tetap masuk atau tidak, tentu ada aspirasi dari sejumlah elemen masyarakat sipil yang  sudah disebutkan antara lain karena sudah adanya putusan MK terhadap pasal- pasal penghinaan Presiden atau didalam KUHP yang KUHP nya masih berlaku sampai sekarang tentu kecuali untuk pasal-pasal tersebut. Kemudian ada  juga aspirasi yang sebaliknya misalkan di dalam kuhp yang nanti akan DPR pertahankan itu terdapat pasal penghinaan terhadap kepala pemerintahan negara lain Kepala Negara dari negara lain khususnya yang lagi berkunjung ke Indonesia itu saja bisa di pidana. apakah penghina kepala pemerintahannya sendiri dalam hal ini presiden dibiarkan begitu saja apalagi dimasa di mana yang namanya ujaran kebencian, hoax itu sedemikian masih bisa dijumpai di ruang - ruang publik khususnya di media sosial.


Perdebatan antara dua aspirasi itu kemudian di panja  mengerucut pada sebuah kesepakatan antara DPR dan pemerintah, memang Pasal tersebut masih ada tetapi agar tidak menabrak putusan Mahkamah Konstitusi maka sifat deliknya dirubah dari delik biasa yang tidak memerlukan laporan maupun aduan dari siapapun tetapi penegak hukum dalam hal ini bisa langsung bertindak, oleh hal itu kemudian dijadikan sebagai delik aduan, ini yang dianggap kemudian karena sifat deliknya itu berbeda maka tentu kemudian tidak menabrak dari apa yang ada dalam putusan MK. Dalam pasal ini tentu bersal dari para ahli hukum pidana, pada pendapatnya sebagaimana pepatah Belanda ada dua ahli hukum yang ada tiga pendapat tetapi artinya apa apa yang sekarang ini mengemuka di ruang publik termasuk di media itu hal-hal yang sebetulnya sudah menjadi bagian dari perdebatan waktu dibahas. Faktualnya kemudian RUU KUHP oleh DPR ditunda pengesahan nya dan kemudian pemerintah dan DPR sepakat untuk melakukan diskusi publik, konsultasi publik baik melalui webinar dan lain sebagainya, itu kemudian masih tetap posisinya, dalam hal ini nanti kemudian DPR menunggu, karena RUU KUHP ini merupakan  inisiatif pemerintah apa sikap pemerintah selanjutnya setelah apa serangkaian dari konsultasi publik itu di lakukan.


Bahwa harus diluruskan bahwa tentunya substansi dari yang ada dalam RUU KUHP itu tidak bertentangan dengan putusan MK 2006 tetapi justru sebaliknya adalah menindaklanjuti dan sekaligus memperbaiki sebagaimana yang ada dalam putusan MK.  pada waktu itu adalah dianggap bertentangan dengan demokrasi dan lain sebagainya. Oleh karena itu agar tidak terjadi kesewenang-wenangan maka dibuatlah sebuah delik aduan Absolut yang berarti presiden ataupun pemegang surat kuasanya nanti yang dapat mengadukan saja, pada sisi yang lain juga ada perbaikan, ketika dalam konteks misalnya pembelaan diri, konteks untuk kepentingan umum, maka hal tersebut tidak termasuk bagian dari penghinaan kepada Presiden maupun wakil presiden.Yang menjadi persoalan adalah bahwa ini akan dihawatirkan terjadi kriminalisasi, dikawatirkan akan terjadi multitafsir karena adanya pasal karet, pasal karet tadi itu yang bagaimana menginterpretasikan tentang menyerang kehormatan apakah kemudian kritik itu sama dengan menyerang kehormatan atau bukan tetapi tentunya harus ada sebuah penjelasan yang jelas dalam alam demokrasi kritik adalah sebagai sebuah keniscayaan tidak bisa tidak, oleh karena itu kritik dalam konteks konstruktif, kritik dalam konteks kepentingan umum, dalam konteks sebuah perbaikan, maka sesungguhnya itu adalah bukan bagian dari menyerang kehormatan. 

Dari puncak itulah maka diharapkan pemerintah bersama DPR benar-benar  dapat merumuskan norma yang ada dalam pasal-pasal tentang penghinaan Presiden tadi itu mencerminkan adanya sebuah ketegasan, mencerminkan adanya sebuah kejelasan, mencerminkan adanya sebuah kepastian, sehingga tidak terjadi multitafsir, tidak terjadi satu upaya untuk saling melaporkan dan lain sebagainya. Jadi dalam hal ini memberikan antisipasi karena sebenarnya pangkal persoalannya adalah ketika ada pasal ini nanti dikawatirkan presiden tidak bisa dikritik, padahal sesungguhnya memberikan kritik pada presiden bagian dari sebuah alam demokrasi, kritik adalah bagian dari yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks perbaikan. 

Sekiranya DPR bersama pemerintah bisa menjamin bahwa rumusan rumusan pasal nanti akan mencegah terjadinya kriminalisasi, terjadinya multitafsir maka itu adalah 1 bagian yang perlu diapresiasi secara positif. Tetapi kalau lagi lagi rumusannya masih seperti yang ada dalam warisan kolonial yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi maka itu akan menjadi trauma dalam konteks penegakan hukum di negara Indonesia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline