April 2019 lalu, Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia mengumumkan pemindahan IKN ke luar pulau Jawa, yaitu di daerah Kalimantan Timur, tepatnya di Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. Sebelumnya, ide mengenai pemindahan IKN ini dicetuskan pertama kali oleh Soekarno pada 17 Juli 1957 dengan memilih Palangkaraya sebagai IKN baru sebab wilayahnya yang luas serta letaknya yang berada di tengah kepulauan Indonesia. Namun, ide tersebut tidak pernah terwujud dan berakhir dengan penetapan Jakarta sebagai IKN Indonesia sesuai dengan yang tertuang dalam UU Nomor 10 tahun 1964 oleh Presiden Soekarno.
Visi Indonesia Maju 2045 yang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas melatarbelakangi rencana pemindahan IKN Nusantara. Visi ini dirancang untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia dan meratanya kualitas SDM yang tinggi yang disertai dengan meningkatnya perekonomian Indonesia sehingga dapat menjadi salah satu dari 5 kekuatan ekonomi terbesar dunia. Selain itu, dengan dirancangnya visi ini diharapkan tercapainya perataan semua pembangunan secara adil sehingga dapat menciptakan NKRI yang berdaulat dan demokratis.
Pembangunan IKN Nusantara disebut akan mengusung konsep smart city di mana kota ini akan dilakukan penerapan teknologi yang membantu perencanaan, pembangunan, hingga menjalankan fungsi pemerintahan dalam pengelolaan kota agar efisien. Dengan adanya pengembangan smart city, kualitas hidup masyarakat yang tinggal di IKN Nusantara akan meningkat dan diharapkan dapat melahirkan SDM unggul bagi generasi Indonesia.
Akan ada enam sektor yang menerapkan teknologi modern dalam tujuan menciptakan konsep smart city, yaitu sistem pemerintahan berbasis digital, penggunaan teknologi intelegence transportation system dengan net zero emission dan pembangunan smart warehouse dalam bidang logistik, komponen kehidupan masyarakat yang bebas dari polusi, terciptanya sumber daya energi yang bersumber dari energi baru terbarukan, SDM dan industri yang menerapkan smart education serta infrastruktur yang ramah lingkungan.
Fakta yang menunjukkan bahwa beban Jakarta dan Jawa yang sudah terlalu berat menjadi rasionalisasi pemindahan Ibu Kota. Berdasarkan data penduduk milik Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hasil dari sinkronisasi Sensus Penduduk 2020 dengan administrasi kependudukan menampilkan bahwa jumlah penduduk Indonesia hingga Desember 2020 mencapai sebanyak 271,35 juta jiwa. Sementara itu, 131,79 juta jiwa atau 55,94 persen penduduk Indonesia bertempat di Jawa, sedangkan sebanyak 21,37 persen penduduk Indonesia tersebar di Sumatera, 7,43 persen penduduk Indonesia mendiami Sulawesi, dan 6,13 persen sisanya berada di Kalimantan.
Dengan proporsi kepadatan penduduk Pulau Jawa yang tinggi dapat berpotensi menimbulkan berbagai masalah, seperti polusi udara dan air serta terjadinya kemacetan lalu lintas. Riset yang dilakukan oleh World Bank tahun 2019 menjelaskan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 56 triliun per tahun. Selain itu, ketersediaan air bersih merupakan salah satu pertimbangan dalam menentukan titik lokasi ibu kota baru. Hal ini mengacu pada data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang mengatakan bahwa Jawa, khususnya wilayah Jakarta, telah mengalami krisis air yang cukup parah.
Mengenai isu tenggelamnya Jakarta juga seringkali dibahas oleh sejumlah kajian yang menyatakan bahwa terjadi penurunan permukaan tanah 10-12 centimeter yang dialami Jakarta tiap tahunnya. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dalam pidatonya yang menyangkut tentang perubahan iklim di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, beliau mengungkapkan prediksinya mengenai DKI Jakarta yang akan tenggelam dalam 10 tahun ke depan.
Kontribusi Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dianggap sangat mendominasi atau dianggap sebagai "Jawasentris" berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, sebesar 58,49 persen merupakan hasil kontribusi ekonomi di Jawa terhadap PDB dan Jabodetabek menyumbang sebanyak 20,85 persen. Sementara itu, diperhitungkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Pulau Jawa sebesar 5,61 persen.
Pembangunan yang tersentralisasi di Jakarta dan Pulau Jawa dapat menyebabkan tidak meratanya pembangunan antarwilayah dan timbul kesenjangan di Indonesia. Dengan kondisi tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terhambat dan menjadi tidak sustainable dikarenakan kurang memanfaatkan potensi daerah secara optimal dan kurangnya dukungan keadilan untuk daerah lain.
Keputusan untuk melakukan pemindahan ibu kota dan pembangunan IKN Nusantara telah melalui proses yang panjang melalui diskusi dan perencaaan yang matang dengan berbagai kajian kebijakan yang komprehensif. Namun, tidak dapat dipungkiri keputusan ini menimbulkan dampak di berbagai bidang, baik dampak positif maupun negatif.
Dana pembangunan IKN yang masih bersumber dari APBN menimbulkan sikap skeptis dari sejumlah ekonom. Rizal Taufikurrahman, yang merupakan seorang pengamat makro ekonomi dari INDEF, merasa khawatir dengan beban yang diemban oleh APBN dikarenakan pembangunan IKN tersebut. Hal ini dikarenakan dalam prosesnya, pembangunan IKN membutuhkan effort yang kuat terutama mengenai masalah pembiayaan. Mengacu pada penelitian yang dilakukan INDEF tahun 2019, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur memang nantinya akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi wilayah, namun dampaknya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional yang menjadi tidak signifikan.