Di Indonesia, masih sering saya temui mengenai kekuasan suatu individu atau kelompok yang sangat mempengaruhi masyarakat atau golongan tertentu. Salah satu contohnya ada di pondok pesantren. Pondok pesantren yang dipimpin oleh Kyai merupakan tempat para santri untuk mempelajari ilmu agama. Sehingga kyai dianggap sebagai guru yang perkataan dan perbuatannya bisa menjadi contoh mutlak untuk diikuti oleh santri. Termasuk juga dalam hal pemilu. Saya pernah menemukan kasus bahwa teman saya dipaksa untuk mentaati perkataan kyainya mengenai pemilihan kepala daerah. Sedangkan teman saya ini memiliki pilihan yang berbeda dengan kyainya. Hal ini tentunya menimbulkan dilema yang mana dia punya kewajiban untuk mentaati perintah dari kyainya, tapi hatinya memiliki pilihan lain.
Dari kasus tesebut bisa disimpulkan bahwa di Indonesia sendiri masih banyak terjadi kasus mengenai kekuatan para elit yang bisa mengatur dan menjalankan kepentingan diatas banyak orang. Kasus ini sesuai dengan contoh teori sosiologi oleh Charles Wright Mills yakni "The Power Elite". Teori ini berkembang karena di Amerika, selain berkembangnya konsep alienasi pekerjaan, terdapat juga kelompok elite yang mengatur masyarakat. Kelompok elite ini adalah sekelompok kecil yang secara reguler berinteraksi dan memiliki tujuan serta kepentingan yang sama. Dalam struktur masyarakat, mereka membentuk kelompok yang memiliki kekuasaan karena anggotanya menduduki posisi kunci di lembaga-lembaga penting yang dapat memberikan perintah kepada otoritas yang lebih besar, mengendalikan sumber daya secara spesifik, dan memiliki pengaruh besar di sektor-sektor krusial (Azizah, 2021). Setiap sektor saling tergantung pada sektor lainnya.
Mills menjelaskan kekuasaan elite ini dengan gambaran piramida kekuasaan. Puncak piramida dihuni oleh elite berkuasa, seperti pemimpin yang menguasai tiga sektor hierarkis kekayaan perusahaan, individu yang paling kaya, dan para pemilik saham perusahaan. Kemudian, di lapisan kedua terdapat pemimpin eksekutif seperti presiden dan menteri, serta pejabat yang menduduki posisi kunci di bidang militer. Lapisan ketiga mencakup pemimpin opini lokal, cabang legislatif pemerintah, dan berbagai kelompok kepentingan. Struktur ini melibatkan negosiasi antara elite-elite yang berkuasa. Dengan demikian, keputusan-keputusan dari tiga kekuasaan tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan semua individu yang berada pada tingkat kekuasaan yang lebih rendah. .
Saya mengenal teori "The Power Elite" dari artikel yang berjudul "Tribalisme, Oligarki Kekuasaan dan Dinamika Politik Kekerabatan dalam Jaringan Pondok Pesantren" yang ditulis oleh Nurul Azizah pada tahun 2021 dan artikel yang berjudul "Charles Wright Mills dan Teori Power Elite: Membaca Konteks Dan Pemetaan Teori Sosiologi Politik Tentang Kelas Elite Kekuasaan" yang ditulis oleh Ahmad Imam Mawardi pada tahun 2018. Artikel tersebut membahas mengenai bagaimana para elit bisa mempengaruhi lingkungannya bahkan dalam hal politik. Juga menjelaskan bagaimana teori ini bisa muncul dan eksis.
Teori "The Power Elite" dicetuskan oleh Charles Wright Mills. Mills lahir pada tanggal 26 Agustus 1916 di sebuah daerah di Waco, Texas. Charles Wright Mills berasal dari latar belakang kelas menengah konvensional, ayahnya seorang pialang asuransi dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Mills menempuh pendidikan di Universitas Texas pada tahun 1939 dan mendapat ijazah sarjana dan masternya, lalu mills menempuh pendidikan di program doktoral di Universitas Wisconsin (Mawardi, 2019).
Mills menghabiskan karirnya di Universitas Colombia hingga wafat pada tahun 1962. Wright Mills meninggal pada usia 45 tahun karena serangan jantung. Tokoh panutannya adalah Max Weber. Ilmuan-ilmuan yang mengilhami Mills adalah seperti Veblen, John Dewey, dan George H. Mead. Mills menggunakan keyakinan Veblen bahwa Karl Marx salah dalam melihat kelas pekerja untuk menyelamatkan dunia (Mawardi, 2019). Pandangan Marx mengenai kesadaran kelas palsu merupakan metafisika buruh yang ketinggalan. Mills percaya bahwa masyarakat masih tetap pasif. Sementara itu kelas penguasa, dengan kekuatan dirinya mampu menggunan kekuasaanya dan mampu membentuk opini. Kelas mengatur mendominasi dari atas kebawah. Oleh karena itu penekanan Marx lebih kepada dasar ketimbang pada superstruktur. Mills menulis beberapa topik misalnya tentang birokrasi, kekuasaan dan otoritas, elit sosial, pekerja keraj putih, rasionalisasi, masalah sosial, komunisme, perang dingin, ideologi, sosiologi dan ilmu -- ilmu sosial yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H