Lihat ke Halaman Asli

Alena Diva Putri Mustafa

Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Mulia dan Hina, Ketidaksetaraan Masyarakat dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer

Diperbarui: 26 November 2024   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Cover novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, dokumentasi pribadi]

Di era globalisasi sekarang, banyak hal yang menjadi serba mudah. Meskipun masih belum merata, tetapi kita bisa melihat adanya perkembangan yang terjadi, mulai dari akses pendidikan, pelaksanaan pembelajaran, lapangan pekerjaan, terjadinya pertemuan-pertemuan hingga adanya kesetaraan. Tentunya, perkembangan yang terjadi tak lepas merupakan hasil dari perjuangan itu sendiri. 

Perjuangan sejak dahulu untuk mendapatkan hal yang ditunggu-tunggu. Lalu, bagaimana dengan situasi yang terjadi di masa lalu? Apakah ada novel yang menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakatnya? Akan kesetimpangan dan ketidaksetaraan yang menjadi momok dalam kehidupan?

Salah satunya, yaitu novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1987 dengan adanya edisi pembebasan pada tahun 2000. Penulis memberikan gambaran kehidupan masyarakat beberapa tahun setelah R.A. Kartini meninggal dunia. Dipaksa nikahnya antara Gadis Pantai dengan Bendoro---yang diwakilkan oleh sebuah keris, menjadi awal mula "petualangan" Gadis Pantai sebagai istri seorang petinggi. 

Perjodohan ini menjadi hal yang sangat menakutkan, tentunya untuk Gadis Pantai yang saat itu masih berusia 14 tahun. Ia harus mengubah kehidupan remajanya yang dipenuhi oleh keceriaan tanpa beban, menjadi kehidupan dewasa yang dipenuhi kebingungan akan perubahan tanpa adanya kesiapan. 

Ia berada di rumah Bendoro untuk beberapa tahun lamanya, menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang baru, mendapatkan beberapa pengajaran dari para guru, adanya perbaikan pada sikap dan perilaku, mendapatkan cinta sebagai perasaan yang ambigu hingga persiapan untuk menjadi seorang ibu. 

Semuanya ia dapatkan dengan maksud "hak istimewa" sebagai Mas Nganten (sebutan untuk istri Bendoro). Meskipun nampak menyenangkan dan membanggakan, kehidupannya di rumah besar itu tak luput dari masalah-masalah. 

Ia harus dihadapi dengan banyak hal yang sebelumnya tak ia ketahui, beratnya kehidupan seorang istri, hal-hal berkaitan pelayanan yang terkadang tak ia mengerti, keegoisan yang menyebabkan persaingan yang seharusnya tak terjadi hingga ia harus memusuhi suaminya sendiri. Beberapa tahun itu telah membuatnya rapuh dan dunianya menjadi runtuh, tetapi juga membuatnya lebih kuat untuk menghadapi dunia luar yang lebih berat.

Lalu, bagaimana dengan penggambaran masyarakatnya? Di kota, penulis menggambarkan kekuasaan yang dipegang oleh laki-laki yang memiliki martabat tinggi, sedangkan perempuan sudah selayaknya abdi yang harus selalu patuh dan melayani. 

Kuasa yang dimiliki oleh laki-laki di dalam novel, mulai dari hal yang sederhana hingga hal yang sangat krusial. Misalnya, Gadis Pantai yang diperintahkan untuk belajar menyenangkan suaminya, meskipun harus mengabaikan perasaannya. Padahal, untuk menyenangkan pasangan terjadi dua arah, suami kepada istri dan istri kepada suami. Jika hanya salah satu, maka salah satunya akan mengorbankan perasaannya.

[Nasihat yang diberikan Emak pada Gadis Pantai, dokumentasi pribadi]

Sejak awal "perjodohan" mereka juga sangat memaksa. Bermodalkan kecantikan, Gadis Pantai menjadi korban kelicikan Bendoro dalam memenuhi hawa nafsu dan mendapatkan pelayanan. Setelah sampai di kota, justru ia tak mendapatkan apa-apa---selain perhiasan, pengajaran, dan pelayanan dari Bujangan/mBok. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline