Lihat ke Halaman Asli

Iklan Politik Ganjar-Heru Manfaatkan Kapital Simbolik

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Jateng baru…ya Ganjar-Heru, ojo lali…pilih nomer Telu!

Nampaknya warga Jawa Tengah masih terngiang-ngiang akan jargon tersebut. Siapa yang tak kenal dengan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko? Lantaran nama dan wajahnya kerap kali muncul di berbagai media. Iklan politik telah menghuja­ni berba­gai media menyong­song Pemilu Legeslatif 2014. Tak hanya surat kabar, poster, spanduk, billboard dan baliho, televisi pun gencar menayangkan iklan politik dari berbagai partai. Memang iklan adalah solusi yang efisien untuk mewu­jud­kan sosialisasi para kan­di­dat partai yang nantinya akan menjadi wakil rakyat. Layaknya pintu ajaib, iklan politik merupakan perantara antara sebuah partai dalam penyampaikan visi misinya melalui jargon dan kalimat-kalimat ajakan untuk mem­pe­ro­leh simpati rakyat. Salah satu iklan politik yang tentunya kerap kali dita­yang­kan di televisi adalah iklan pasangan Cagub Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Cawagub Jawa Tengah, Heru Sudjatmoko mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Seperti layaknya iklan politik pada umumnya, iklan tele­visi (TVC) tersebut menyua­rakan serangkaian janji akan keadaan Jawa Tengah yang lebih baik di masa menda­tang. TVC pasangan Ganjar-Heru terdiri dari lima versi. Diantara kelima TVC Ganjar-Heru, versi kelima adalah yang paling berbeda lantaran dura­sinya 30 detik. Adegan pertama dia­wali dengan perkataan “pro­gram kartu petani yang memberikan subsidi pupuk dan program kartu nelayan yang memberikan subsidi solar sangat bagus untuk rakyat Jateng. Mas Ganjar dan Mas Heru adalah figur yang pas untuk memimpin Jateng”, oleh Jokowi. Dilan­jutkan dengan pernyataan Mega dan Puan, “saya yakin untuk Jawa Tengah baru yang lebih baik, yang bisa mensejahterahkan rakyat Ja­wa Tengah, ojo lali pilih no­mer Telu!”.Seperti yang su­dah-sudah, TVC selalu ber­­a­khir dengan foto kedua wajah Cagub dan Cawagub dipadu background merah yang bertuliskan jargon an­da­lan.

Berbicara mengenai iklan politik, tak dapat dipisahkan dari citra narsistik yang dibentuk dari narsisme poli­tik. Narsisme dapat diartikan segala bentuk penyanjungan diri (self-admiration) atau pe­mu­jaan diri (self-glorifi­cation). Pemujaan diri dalam konteks TVC Ganjar-Heru mengarah pada kata-kata seperti: “memberikan subsi­di bagi petani dan nelayan”. Namun diantara kelima versi TVC Ganjar-Heru yang berta­juk testimonial itu, tak satu­pun Cagub atau Cawagub un­juk bicara. Slide video aktivi­tas Cagub dan Cawa­gub hanya ditampilkan seca­ra fade-in dan fade-out se­ba­gai background di sela-sela Megawati dan Puan mem­be­rikan testimonial me­­­nge­­nai Ganjar-Heru. TVC Ganjar-Heru tergolong mi­nim dari narsisme politik yang penuh dengan pemu­jaan diri yang berlebihan, lantaran sanjungan dan per­su­asi untuk memilih Ganjar-Heru bukan terucap dari diri mereka, melainkan dari mu­lut-mulut elit politik terna­ma PDIP.

Fenomena tersebut meru­pakan posisi yang penuh jebakan, TVC dapat menjadi minim narsisme namun akan menjadi hal yang percuma bila testimonial diucapkan dari para elit politik yang memang berasal dari PDIP sendiri. Sangat subjektif se­ka­li nampaknya bila sekum­pulan elit politik PDIP yang menyuarakan testimo­nial Ganjar-Heru. Ada sema­cam pemanfaatan kapital simbo­lik yang dimiliki Mega­wati, Puan, dan Jokowi. Ka­pi­tal simbolik mampu meng­ha­silkan kekuasaan simbolik yang mengarah pada semua bentuk pengakuan oleh ke­lom­pok baik secara institu­sional atau tidak.

Megawati secara kapital simbolik ada­lah putri dari Presiden RI yang pertama, Soekarno. Beli­au juga pernah menjabat sebagai Presiden RI yang kelima. Puan adalah putri dari Megawati sendiri, dan Jokowi saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakar­ta. Ketiga tokoh tersebut telah membentuk konstruksi sosial di mata masyarakat, pasangan Ganjar-Heru di­kon­struksikan sebaik, secer­das, seideal dan sama ca­kapnya dengan Megawati, Puan, dan Jokowi yang telah berhasil menjadi pemimpin.

Begitulah dunia politik yang tak lepas dari pencitraan. Abad informasi menjadikan tanda kian mudah dipro­duksi hingga melahirkan kon­struksi citra yang mung­kin palsu. Mentalitas politik di Indonesia telah menggi­ring pada pembentukan ci­tra yang tidak alamiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline