Kekerasan Seksualitas Tidak Mengenal Tempat
Penulis : Nadia Shelva Allinzkie Michaella Athaya
NIM : P71241124032
Maraknya kasus kekerasan seksual di pondok pesantren (ponpes) di Nusa Tenggara Barat (NTB) bak air terjun yang mengalir. Sejumlah kasus pencabulan dan pemerkosaan itu melibatkan pimpinan ponpes di Bumi Gora, sebutan NTB.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram Joko Jumadi mengungkapkan terdapat tiga kasus pelecehan seksual di dalam pondok pesantren yang terkuak baru-baru ini.
LPA Mataram mencatat ada sembilan kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam ponpes yang tersebar di NTB pada 2023. Rinciannya, tiga kasus pencabulan pria dengan pria, satu kasus pencabulan wanita dengan wanita, dan lima kasus pencabulan berpasangan (pria dengan wanita).
Kasus pencabulan dan pemerkosaan yang melibatkan pimpinan pondok pesantren meningkatkan seriusnya masalah ini karena melibatkan otoritas yang seharusnya melindungi para santri. Isu-isu utama yang muncul termasuk penyalahgunaan kekuasaan, transparansi dan akuntabilitas, dukungan bagi korban, pendidikan dan kesadaran, reformasi dan regulasi. Penting untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual, memberikan dukungan bagi korban, dan melaksanakan reformasi serta regulasi yang lebih ketat di ponpes. Semua pihak terkait harus memberikan perhatian serius agar pondok pesantren dapat menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi pendidikan dan perkembangan anak-anak.
Saya menilai kasus kekerasan seksual di ponpes menjadi hal yang pelik dan menyedihkan. Disebut ada tiga korban pelecehan di salah satu ponpes hingga kini tidak berani melaporkan kasusnya ke LPA.
Kasus ini, terjadi di salah satu pondok pesantren di Lombok Tengah yang sebelumnya tidak beroperasi. Belakangan, ponpes itu kembali beroperasi dengan hanya menerima santri atau siswa pria.
Kasus kekerasan seksual di pondok pesantren memang merupakan isu yang sangat serius dan memprihatinkan. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagaimana yang saya sebutkan, kasus-kasus semacam ini melibatkan berbagai tingkat pelaku dan korban. Ini jelas menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya terletak pada individu, tetapi juga pada sistem yang ada di ponpes tersebut.
Keberanian korban untuk berbicara dan melaporkan pelanggaran yang mereka alami sangat penting untuk memastikan keadilan dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Namun, situasi seperti yang saya sebutkan di mana ada korban yang enggan melapor karena takut atau merasa tidak didukung adalah masalah besar yang harus ditangani dengan serius.
Tindakan yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini yaitu Penguatan Sistem Pelaporan untuk sistem pelaporan yang aman, rahasia, dan mendukung bagi korban, termasuk dukungan psikologis dan perlindungan hukum. Pendidikan dan Pelatihan memberikan edukasi tentang kekerasan seksual kepada semua pihak di ponpes, dari pimpinan hingga santri, untuk meningkatkan kesadaran dan pencegahan. Pengawasan ketat untuk meningkatkan pengawasan dan regulasi pondok pesantren agar mematuhi standar keselamatan dan perlindungan. Sanksi tegas diberlakukan bagi pelaku kekerasan seksual dan institusi yang lalai. Serta, memberi dukungan bagi korban dengan layanan konseling dan bantuan hukum untuk pemulihan dan pelaporan.
Mengatasi isu ini memerlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan organisasi-organisasi perlindungan anak untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua pihak, terutama bagi mereka yang paling rentan. Peran masyarakat dan pemerintah yaitu harus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum untuk melindungi santri dan memastikan bahwa pondok pesantren mematuhi standar perlindungan anak serta masyarakat perlu berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pelaporan kekerasan seksual dan menolak stigma yang menghalangi korban untuk berbicara.
Tidak seperti dipandang orang-orang pada umumnya, pondok pesantren juga tidak lepas dari hal-hal maupun kasus seksualitas. Maka dari itu kita harus lebih waspada dan memberi perhatian khusus meskipun dalam pondok pesantren yang dasarnya keagamaan, orang tua yang ingin anaknya masuk dalam pondok pesantren untuk waspada dan selalu mengecek ulang perkembangan atau pembelajaran dalam pondok pesantren tersebut. Saya berharap Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia bisa memberikan solusi agar pondok pesantren yang terindikasi kasus kekerasan seksual segera disikapi dan ditindak lanjuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H