Lihat ke Halaman Asli

Nadia Shalsabila

Mahasiswa UIN-SUMATERA UTARA

Ketika Alam Berbicara: Banjir Menggugah Kesadaran, Mahasiswa FKM UINSU Berbincang Langsung dengan Masyarakat Pantai Cermin

Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai Cermin, di Kabupaten Serdang Bedagai, Medan, adalah kawasan pesisir yang menghadapi bencana banjir secara rutin setiap tahunnya. Fenomena ini bukan sekadar bencana alam yang datang dan pergi, tetapi juga sebuah seruan untuk menggugah kesadaran masyarakat dan merangkul tindakan nyata dalam menjaga lingkungan mereka.

Setiap akhir tahun, ketika hujan deras turun dan air laut mencapai titik pasang tertinggi, banjir akan menggenangi wilayah ini. Mirisnya, banjir tersebut membawa serta "rombongan" sampah, tidak hanya dari laut tetapi juga dari pemukiman warga. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat Pantai Cermin menghadapi tantangan besar, dengan frekuensi banjir yang mencapai 2-3 kali dalam setahun, terutama pada bulan November hingga Desember.

Menanggapi situasi yang berulang, warga Pantai Cermin telah mengembangkan langkah-langkah antisipatif yang unik. Beberapa di antaranya memilih menggunakan material perabotan yang tahan air, sehingga memudahkan mereka saat air mulai masuk ke dalam rumah. Tidak hanya itu, mereka secara rutin mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan dari sampah, yang sering menjadi penyebab tersendatnya aliran air selama musim hujan. 

Salah satu warga Pantai Cermin (dokpri)

"kalo air udah naik, ibuk langsung ngambilin surat-surat dek, KK, Ijazah trus barang barang dek, biar gk rusak." Ucap salah satu warga.

"...biasanya kami duduk sambil ngobrol di cakruk sampai air banjir surut, dek." Ucap salah satu warga. 

Cakruk milik salah satu warga Pantai Cermin (dokpri)

Ketika banjir tiba, langkah pertama yang diambil oleh warga adalah menyelamatkan dokumen penting dan barang berharga. Pantai Cermin. Meskipun ketinggian banjir bisa mencapai betis orang dewasa (sekitar 30 cm), warga tetap memperlihatkan kekompakan dan ketenangan, berkumpul di cakruk, tempat mereka saling berbagi cerita dan menunggu air surut.

"....program dari pemerintah untuk menanggulangi banjir ini berupa DAM atau bendungan, Cuma karena lama kelamaan banjirnya semakin tinggi dan volume airnya semakin banyak jadi, DAM ini gabisa nahan air." Ucap salah satu warga.

Di sisi lain, program pemerintah yang telah ada, seperti pembangunan DAM (bendungan), tampaknya belum sepenuhnya efektif. Warga setempat mengungkapkan bahwa bendungan tersebut tidak lagi mampu menahan volume air yang semakin tinggi. Namun, mereka terus berharap adanya upaya lebih lanjut dari pemerintah untuk penanganan banjir secara lebih optimal.

Setelah air surut, sisa-sisa banjir, terutama sampah yang tertinggal, menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat. Namun, dengan semangat kebersamaan, mereka membersihkan lingkungan dan kembali melanjutkan rutinitas sehari-hari, sambil terus berharap adanya solusi jangka panjang untuk mengatasi banjir yang selalu mengancam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline