Lihat ke Halaman Asli

Ayahku Penuh Keajaiban

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pelajaran Bahasa Indonesia. Jam terakhir. Panas terik.

Bu Lastri mencoba menenangkan 48 siswa kelas 6 itu yang sedang asyik bicara sendiri-sendiri.

“Anak-anak. Tenang dulu! Dengar, untuk pelajaran minggu depan, kalian akan berlatih berbicara di depan kelas. Silakan buat bahan; bisa berbentuk cerita, humor, puisi dan semacamnya. Besok kalian harus sudah menentukan judul dan topiknya. Mengerti!,” seru Bu Lastri.

“Mengerti, Bu!” seru anak-anak bersama-sama. Bu Lastri melirik Dinar, siswa pendiam yang duduk di deret paling kiri, ruas kedua dari depan. Seperti biasa, Dinar tidak menampakkan perubahan air muka; berbeda sekali dengan anak-anak lain yang mulai kasak-kusuk tentang apa yang harus ditampilkan dalam acara tampil di depan kelas minggu depan.

“Apa bahanmu?” tanya Rosi, teman sebangku Dinar hari itu.

“Tentang ayahku,” kata Dinar kalem.

“Ayahmu!!” mata Rosi terbelalak. Ia langsung menoleh teman-teman lain di sampingnya. “Friends, Dinar mau menampilkan karya tentang ayahnya!” ujar Rosi.

Teman-teman yang mendengar ini langsung berkomentar, “Huah! Serem!”

“Serem banget!” demikian celetuk teman-teman di kelas.

Dan hari itu kelas bubar dengan pembicaraan tak kunjung habis di mulut anak-anak tentang bakal topik yang disampaikan Dinar.

Dinar melangkah paling akhir keluar kelas. Bu Lastri menghentikannya.

“Dinar, benar kamu mau angkat topik tentang ayahmu?” tanya Bu Lastro.

“Benar, Bu!”

“Kira-kira tentang apa ya?” tanya Bu Lastri lagi.

“Kata Bu Lastri, topiknya boleh disampaikan besok?” balas Dinar.

“Oh ya, besok ya. Baiklah……”kata Bu Lastri. Dina meraih tangan Bu Lastri dan menempelkan punggung tangan itu ke hidungnya. “Selamat siang, Bu Lastri”

***

“Judul saya ‘Ayahku Yang Penuh Keajaiban’,” ujar Dinar tenang sekali ketika Bu Lastri mulai mencatat bakal judul dan topik presentasi lisan minggu depan.

“Kamu yakin mau topik itu?” tanya Bu Lastri, urung menulis, menatap Dinar, terlihat kesan bu guru ingin Dinar ganti topik.

“Sangat yakin. Saya bahkan sudah buat tulisannya, tinggal menyampaikan bila giliran saya tiba” ujar Dinar.

“Oo, begitu, cepat sekali!”

“Tidak perlu lama untuk menuliskan keajaiban-keajaiban ayah saya,” kata Dinar tidak tersenyum. Bu Guru juga tidak tersenyum.

“Anak-anak lain, apakah kalian nanti mau mendengarkan presentasi Dinar?” tanya Bu Lastri.

“Tidak, bu, serem!” anak-anak menjawab serempak. Dinar tidak bicara, tidak pula terpengaruh oleh jawaban rekan-rekannya. Bu Lastri menatap Dinar.

“Saya menunggu,” kata Bu Lastri kemudian kepada Dinar.

“Menunggu apa?”

“Menunggu kamu mengganti topik presentasimu”

“Saya juga menunggu,” ujar Dinar.

“Mengunggu apa?” nada suara Bu Lastri naik.

“Menunggu bu guru bertanya pada anak-anak mengenai suka tidak sukanya mereka mendengar masing-masing bakal topik mereka. Jangan hanya topik saya yang dipermasalahkan,” ujar Dinar. Bu Lastri takjub mendengar keberanian perempuan kecil ini. Ia menatap Dinar sejenak.

“Baiklah, Dinar. Nanti seusai sekolah temui saya di ruang Bimbingan dan Penyuluhan”

***

Bu Lastri dan Bu Nurhaliza, guru BP, tak perlu lama menunggu Dinar. Gadis kecil itu muncul tak lama setelah bel pulang berbunyi.

“Duduklah,” sambut Bu Nurhaliza. Bu Lasti menatap Dinar, yang membawa dua tangkai mawar segar di tangannya.

“Dinar, ini soal topik presentasimu. Seperti yang kamu ketahui….mmm….ayahmu cukup terkenal di kampung ini, di kecamatan ini……”

“Ya, orang-orang bilang ayah saya dukun, tukang santet, pekerjaannya meneluh orang, membantu orang lain untuk menjadi kaya raya tanpa bekerja, dan banyak tuduhan lain……,” ujar Dinar lancar.

“Ya, hhm…eh, begitulah yang kami dengar,” Bu Nurhaliza menengahi. “Bu Lastri tadi mengatakan kamu akan mengangkat topik presentasi keajaiban-keajaiban ayahmu; saya kuatir ini akan membuatteman-temanmu resah, takut, ngeri….”

“Kalau itu yang membuat ibu-ibu kuatir, saya harus katakan ibu-ibu tidak perlu kuatir. Teman-teman pasti akan suka mendengarnya,” kata Dinar.

“Sebaliknya,” kata Bu Lastri. “Keajaiban yang dilakukan ayahmu tidak bisa dipahami anak-anak seumuran kamu”

“Ibu salah menilai teman-teman,” kata Dinar.

“Salah? Bukankah kamu tahu sendiri mereka tidak akan suka mendengarnya?” sergah Bu Lastri.

“Itu karena mereka belum tahu apa yang akan mereka dengar. Percayalah pada saya, bila saatnya tiba minggu depan nanti, mereka akan suka, ibu-ibu akan suka,” tutur Dinar.

“Saya heran kenapa kamu tidak menurut kata-kata ibu gurumu?” kali ini Bu Nurhaliza mulai tidak sabar.

“Karena saya merasa saya akan memaparkan keajaiban-keajaiban yang menurut saya baik dan benar,” Dinar langsun berdiri. Ia menyerahkan setangkai bunga mawar pada Bu Lastri dan setangkai lagi pada Bu Nurhaliza. Dinar kemudian berbalik dan menghilang di balik pintu tanpa bicara. Serempat Bu Lastri dan bu Nurhaliza melemparkan bunga mawar itu ke tempat sampah. “Amit-amit. Jangan-jangan kita diteluhnya lewat bunga ini” kata Bu Lastri.

***

Sampai saatnya tiba, Bu Lastri, Bu Nurhaliza dan teman-teman sekelas tidak bisa membujuk Dinar untuk mengubah topik presentasinya. Dan hari itu, Dinar diberi kesempatan paling akhir menyajikan karyanya. Berbeda dengan presentasi topik teman lain, presentasi Dinar dihadiri kepala sekolah, sejumlah guru BP termasuk Bu Nurhaliza dan guru-guru lain. Bu Lastri sempat melirik, di ujung ruangan ada sekitar 50 tangkai mawar segar ditata dalam keranjang rapi.

Dinar maju ke depan dan membuka kertas presentasi yang selalu dikantonginya.. Semua mata memandang ke atah gadis kecil ini.

“Ayahku penuh keajaiban,” Dinar mulai membacakan karyanya. “Ia bisa menghadirkan beras, lauk-pauk dan makanan lain ke rumah kami, membuat kami kenyang dan sehat”

“Huuuuu!” anak-anak lain gemuruh. Dinar tetap tenang.

“Ayahku penuh keajaiban. Berhari-hari lampu di kamar mandi mati, dan baru menyala ketika ia tiba dari luar kota. Tanpa usaha ayahku, membeli bola lampu dan memasangnya dengan pinjam tangga ke tetangga, kamar mandi akan gelap gulita; adikku jadi tak takut lagi masuk kamar mandi di malam hari”

“Huuu!”

“Ayahku penuh keajaiban. Saat Bu Minah, perempuan tua itu kesakitan karena kram perut di tengah malam dan tak seorangpun sudi menengok, ayahku malam mengeluarkan sepeda motor butut, dan berdua dengan ibu, mengantar Bu Minah ke rumah sakit, dengan biaya yang dikeluarkan dari dompet ayahku, sambil berkata pada ibu, besok sarapan pakai mi instan saja karena uang bakal tak cukup buat beli ayam,” Dinar menebarkan pandangan ke semua yang hadir.

“Ayahku penuh keajaiban. Ketika orang-orang kampung hendak memukuli pencuri sepeda di rumah Haji Sadikin, ayahku malah menyentuh bahu pencuri itu, menasehatinya, memberinya uang untuk makan keluarga si maling hari itu, dan meminta orang-orang kampung dan Haji Sadikin memaafkan pak maling”

“Ayahu penuh kejaiban. Saat banjir melanda beberapa bulan lalu, ia menyingsingkan celana, melepas baju dan masuk got membongkar sampah-sampah yang menyumbat got, sendirian, sementara orang-orang lain sibuk berdiskusi dan ramai-ramai bikin rencana demo ke perkampungan sebelah yang dituduh mengalirkan sampai ke kampung kita”

“Ayahku penuh kejaiban. Ia bisa memandikan adikku yang berumur 1 tahun, menyuapinya, mengajaknya bermain, dan menidurkannya ketika ibu sibuk kerja menjadi buruh cuci di perumahan mewah sebelah”

“Ayahku penuh kejaiban. Ia langsung berhenti merokok ketika saya bilang rokok tidak baik buat ayah dan bagi orang-orang di sekitarnya, dan uang rokok bisa buat beli susu adik”

“Ayahku penuh keajaiban. Orang suka datang kepadanya, minta tolong memecahkan masalah sehari-hari, yang dibantu ayah dengan meminta orang-orang itu untuk memeriksa sendiri kemungkinan kurang lengkap ibadahnya, dan membantunya memilih surat-surat Al Qur’an yang tepat untuk berdzikir, dan berapa banyak ia harus berdzikir”

“Ayahku penuh keajaiban. Ia tidak pernah marah dituduh sebagai dukun, tukang santet atau tukan teluh dan tukang klenik yang membuat orang jatuh sakit, karena aku tahu ayah tidak mempraktekkan hal-hal seperti itu. Ayahku bilang, setiap orang bisa punya berbagai cara untuk menilai orang lain, dan penilaian itu hanya akan terbukti benar atau salah melalui perjalanan waktu. Ayah bilang jangan pernah aku menilai sesuatu dari kata irang, jangan penah menilai sesuatu sebelum akal sehat kita mampu melihat bukti yang ada. Selebihnya, Ayahku hanyalah hamba Allah yang menurutku diberi berkah oleh Allah untuk membantu orang lain menemukan cara yang lebih baik untuk beribadah kepada Allah, kepada sesama manusia dan kepada keluarga”

“Dan…..ayahku penuh keajaiban. Ia mengajari aku menanam mawar, yang kini telah berbunga indah di kebun depan rumah kami. Di pojok ruangan itu ada 50 tangkai mawar. Teman-teman boleh ambil dengan cuma-cuma. Kalau ada yang mau meluangkan uang saku, saya akan senang. Kata ayah, uangnya akan disumbangkan kepada Pak Sariman, tukang sampah yang anaknya saat ini terbaring di rumah sakit karena radang paru-paru”

"Ayahku penuh keajaiban, karena ia mengerjakan hal-hal yang pernah dipikirkan orang"

“Dan yang terakhir, ayahku penuh keajaiban. Ia menyekolahkan aku di sekolah ini yang memiliki Bu Lastri, guru bahasa Indonesia yang hebat. Karena beliaulah, saya bisa membuat presentasi ini. Bila presentasi ini bagus, itu adalah hasil didikan Bu Lastri. Terimakasih”

Ną∂ı∆ SЯ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline