Lihat ke Halaman Asli

nadiarenata

Universitas Airlangga

Transformasi Ekonomi Digital : Dari Warung Kecil ke Pasar Global

Diperbarui: 8 Januari 2025   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Setiap kali saya pulang ke kampung halaman di sebuah desa kecil di Jawa Timur, salah satu pemandangan yang paling saya rindukan adalah warung sederhana milik tetangga saya yang sudah renta. Dulu, warung itu hanya menyediakan kebutuhan pokok---beras, minyak, gula, dan jajanan anak-anak yang harganya tak seberapa. Namun, warung tersebut adalah denyut nadi perekonomian keluarganya. Dari warung kecil itu, ia membiayai pendidikan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kini, warung tetangga saya telah berubah. Meja kayu tua yang dulu penuh dengan jajanan digantikan oleh etalase kecil yang memajang produk dari berbagai marketplace online. "Sekarang pelanggan suka beli lewat HP," katanya suatu hari. Saya sempat heran, bagaimana tetangga saya yang sudah renta itu bisa memahami teknologi digital. Ternyata, salah satu cucunya membantunya mendaftarkan warung tersebut ke platform e-commerce lokal.

Refleksi atas Perubahan

Transformasi ini membuat saya merenung. Warung tetangga saya adalah salah satu contoh kecil dari bagaimana teknologi digital mulai menjangkau pelosok desa. Pengalaman ini tidak hanya membuka mata saya tentang potensi teknologi, tetapi juga menunjukkan bagaimana perubahan ekonomi digital bisa membawa harapan baru bagi mereka yang selama ini berada di pinggiran.

Namun, perubahan ini tidak datang tanpa tantangan. Saya ingat betapa sulitnya bagi tetangga saya memahami cara kerja aplikasi. Cucunya harus mengajarinya berulang kali cara memeriksa pesanan hingga menerima pembayaran digital. Sementara itu, beberapa pemilik warung lain yang tidak memiliki akses internet mulai merasa tertinggal. Mereka bingung bagaimana bisa bersaing di dunia yang semakin digital ini.

Fenomena Masa Kini: Digitalisasi dan Inklusivitas

Pengalaman tetangga saya adalah gambaran nyata dari fenomena ekonomi digital yang sedang melanda Indonesia. Digitalisasi memang membuka peluang besar, tetapi tidak semua orang mampu mengikutinya. Ketimpangan digital menjadi tantangan yang nyata. Data dari Bappenas menunjukkan bahwa hingga 2024, masih ada sekitar 12% wilayah di Indonesia yang belum terjangkau internet. Ini bukan sekadar angka, melainkan cerita tentang ribuan warung kecil yang terancam tertinggal karena keterbatasan infrastruktur digital.

Selain itu, ada masalah kepercayaan terhadap teknologi digital. Tetangga saya, misalnya, awalnya merasa ragu menggunakan aplikasi pembayaran digital. "Takut uangnya hilang," katanya dengan nada cemas. Kekhawatiran ini mencerminkan pentingnya literasi digital, terutama bagi masyarakat yang sudah lanjut usia atau tinggal di pedesaan.

Jembatan Masa Kini dan Masa Depan

Melihat bagaimana warung tetangga saya perlahan berkembang, saya menyadari betapa pentingnya peran generasi muda dalam menjembatani transformasi ini. Cucunya, yang dengan sabar mengajari cara menggunakan e-commerce, adalah contoh nyata bagaimana teknologi bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan penghalang.

Namun, keberhasilan ini hanya akan berkelanjutan jika ada dukungan lebih luas. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur digital di daerah terpencil, sementara perusahaan teknologi perlu menciptakan platform yang lebih sederhana dan ramah pengguna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline