Film ini diawali oleh kroscek singkat dari John Pilger yang membuat film ini secara sembunyi-sembunyi untuk mengetahui bagaimana dampak secara besar dari tatanan ekonomi baru yang telah menyita banyak perhatian dari warga dunia, yaitu GLOBALISASI. Hal ini menjadi sebuah protes yang sudah ada sejak tahun 1980-an. John Pilger berkisah bahwa film ini banyak menceritakan tentang adanya penguasa baru di dunia dan pengaruhnya yang besar yaitu di Indonesia. John Pilger mengisahkan bahwa Indonesia merupakan salah satu contoh Negara dengan imperialism yang baru bertemu dengan imperialisme lama. Indonesia kaya akan sumber daya alam dan kemampuan SDMnya. Pramoedya Ananta Toer menjelaskan bahwa Indonesia selama beratus-ratus tahun dihisap sumber daya alamnya untuk kepentingan negara-negara di Barat sana. Bukan hanya Indonesia yang mengalami nasib demikian tetapi juga semua bangsa dengan kulit berwarna. Sehingga Barat menjadi kuat dan makmur menguasai perdagangan. Di awal film ini penonton disuguhkan adanya nyanyian dan tulisan-tulisan yang menyentuh kalbu sehingga mengingatkan penonton terhadap beberapa peristiwa yang menjadi dampak dari globalisasi.
Sekarang, terlihat sangat besar peran IMF dan Bank Dunia. Mereka mendikte negara-negara berkembang dan miskin. Negara-negara yang seharusnya kaya dan sejahtera disulap menjadi negara pengemis dan miskin karena tidak adanya karakter diri bangsa yang kuat dan stabil. Menurut para penganut globalisasi, globalisasi menciptakan kesejahteraan yang merata dan menyatukan semuanya. Justru menurut saya, globalisasi menciptakan keadaan di mana yang miskin bertambah miskin, begitu pula sebaliknya. Penonton diajak untuk merasakan bagaimana dampak globalisasi yang sebenarnya dan terlihat wajar padahal globalisasi menjadi cambuk bagi sebagian orang yang harus merelakan dirinya diperbudak oleh globalisasi. Di film ini memberi contoh bagaimana keadaan si kaya yang bergemilang harta dengan diadakan pesta pernikahan yang mewah, berbanding terbalik dengan si pelayan di pesta itu yang diandaikan harus bekerja 400 tahun untuk dapat menyelenggarakan pesta yang sama.
Film ini kemudian beralih ke pemukiman penduduk yang miskin, di mana anak-anak kekurangan gizi, tidak adanya sarana air bersih, MCK yang layak, dan rapuhnya dinding rumah mereka sehingga lapuk jika terkena banjir. Bagian ini sangat mengharukan mengingat mereka adalah salah satu dari sekian banyak buruh yang menghasilkan barang-barang merek terkenal seperti Nike, Reebok, Adidas, GAP, dan Old Navy. John Pilger kemudian berusaha menyamar sebagai pembeli agar dapat mengetahui bagaimana keadaan di dalam pabrik GAP. Pabrik tersebut dimiliki oleh seorang kontraktor asal Taiwan dan Korea yang memperkerjakan buruh murah untuk menghasilkan barang-barang merek terkenal. Hal ini sangat miris mengingat Indonesia seharusnya mampu memberdayakan sumber dayanya sendiri tanpa harus bekerja dengan penuh tekanan pada pihak asing. Kemudian John Pilger mewawancarai salah satu buruh perempuan di Jakarta. Hasilnya sangat mengenaskan. Perempuan tersebut bekerja selama 24 jam dan istirahat dua kali. Kemudian selang 2 jam kemudian, ia diharuskan bekerja lagi.
Ada banyak hal yang menggelitik penonton selama pemutaran film ini. Kode etik perusahaan yang sudah seharusnya menjadi kewajiban perusahaan untuk memasangnya di setiap sudut ruangan kerja, tidak dilakukan GAP. Mereka seakan menyembunyikan fungsi dan ketentuan kode etik yang melindungi para buruh terhadap pelanggaran hak asasi. Dita sari, seorang aktivis dan mantan buruh juga mengiyakan bahwa tidak pernah ada kode etik yang berjalan di Indonesia karena pada kenyataannya, begitu banyak buruh yang kehilangan kesejahteraannya dan kenyamanan untuk bekerja. Berdiri selama 16 jam dianggap biasa oleh para petinggi GAP yang ada di Indonesia. Dengan kualitas ruangan kerja yang sesak dan para buruh harus dipaksa berdiri begitu lama di bawah sinar 40 derajat celcius membuat semuanya terasa menyesakkan. Banyak timbul pertanyaan bahwa di mana posisi Pemerintah Indonesia dalam hal ini ? Begitu banyak sumber daya alam Indonesia yang telah dirampas habis bahkan hingga ke sumber daya alam manusianya. Saya menyayangkan hal ini, dengan penayangan film ini, Pemerintah Indonesia semakin terlihat lemah dan bodoh. Bahkan, untuk perlindungan serikat buruh saja mereka tak mampu. Padahal, menurut saya, yang banyak melindungi para buruh secara nyata di lapangan adalah serikat organisasi buruh. Merekalah yang paling banyak melakukan reaksi terhadap apa yang dialami oleh para buruh.
Film ini kemudian beralih kepada fakta bahwa di tahun 1990an terjadi pembantaian massal terkejam di dunia, yaitu pembantaian massal 1 juta orang di masa pemerintahan Soeharto. Film ini mengandung sisi positif di mana menguak banyak fakta bahwa Soeharto melakukan aksinya disokong oleh Amerika dan Inggris, serta para pebisnis Barat. Hal ini dirasa sangat menjengkelkan di mana dengan begitu mudahnya Soeharto terpikat dengan tawaran Amerika untuk meminjam dana segar IMF bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, saya rasa dengan hal ini justru menjadikan Indonesia lemah dan mudah dibentuk perekonomiannya oleh Amerika menjadi bentuk ekonomi Amerika yang terbuka bagi para investor asing. Mungkin inilah yang menjadi akar dari permasalahan bangsa Indonesia yang telah menjadi bangsa reformasi selama 16 tahun. Selain itu, film ini banyak mengambil kesimpulan sementara dan kurang mengambil banyak bukti bagi keterkaitan Soeharto dalam penyingkiran Soekarno yang memang terbukti sudah banyak menasionalisasi perusahaan-perusahaan BUMN dalam negeri agar tidak jatuh ke tangan asing. Di sisi lain, film menjelaskan banyak kegamblangan yang terjadi di balik layar pemerintahan Soeharto dan begitu banyak dana segar yang masuk ke Indonesia dari IMF dan Bank Dunia ternyata merupakan hasil dari Konferensi yang telah dilaksanakan Soeharto secara diam-diam bersama Amerika dan Inggris.
John Pilger memutuskan untuk pergi ke IMF dan Bank Dunia terkait dengan adanya penumpukan hutang yang sangat banyak di Indonesia dan hal inilah yang menyebabkan Indonesia belum mampu meningkatkan perekonomian karena adanya pengeluaran yang besar untuk pembayaran hutang luar negeri. Menurut IMF, hutang menjadi salah satu jalan bagi negara-negara dunia ketiga yang sedang berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Hutang pada fungsinya adalah sebagai bantuan dan bukan sebagai tuntutan. Hutang menjadi sebuah sistematika yang pasti dan harus dikembalikan beserta dengan bunganya. John Pilger berusaha meyakinkan bahwa kesalahan masa lalu dengan pembengkakan jumlah hutang setidaknya dapat dimaafkan dengan cara dihapuskan. John Pilger juga menjelaskan bahwa bukankah jika semuanya bermuara pada kemiskinan yang menjadi, sebaiknya IMF dan Bank Dunia dihapuskan untuk kemudian diganti dengan lembaga-lembaga keuangan internasional lain yang lebih menyejahterakan dan melindungi, bukan sebagai lintah darat. Film ini pada akhirnya banyak menuangkan sisi-sisi kritis terhadap permasalahan utama bangsa Indonesia yaitu kemiskinan dan upah murah. Hal ini menjadi kritik terdalam bagi bangsa karena timbul pertanyaan mengapa harus orang asing yang membuka mata hati kita mengenai permasalahan bangsa lewat film ini ? Pada akhirnya, film ini menjadi sangat layak untuk ditonton karena sarat makna dan analisis mendalam. Semoga Indonesia menjadi lebih baik ke depannya di tangan generasi muda yang mempunyai cita-cita dan nasionalisme tinggi terhadap tanah airnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H