Lihat ke Halaman Asli

Penantian

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinta...

Aku ga' pernah percaya ama yang namanya cinta. Definisi cinta buat aku adalah hal gila yang cuma bisa menyakiti. Aku ga' pernah peduli semua kata orang tentang cinta. Bagiku udah cukup jelas, sahabat baik ku nangis terus-terusan karena diputusin pacarnya yang dulu selalu bersumpah atas nama cinta, kakak aku ga' bisa tidur malam karena ditolak cewek yang menurut dia adalah cinta sejatinya, tetangga aku bunuh diri karena hamil dan pacar yang dicintainya raib entah kemana.

Semua yang pernah jatuh cinta pasti pernah nangis karena cintanya itu. Mungkin orang bakal bilang aku cewek teraneh sepanjang abad yang jauh berbeda dengan cewek-cewek lain yang sangat mendewakan cinta. Aku ga' peduli.

Mungkin aku terlalu berlebihan dalam menilai cinta. Oke...aku tau cinta itu ada. aku merasakan cinta, dan aku tumbuh dalam keluarga yang penuh cinta. aku percaya cinta keluarga aku. Hanya cinta keluarga yang nyata. Hanya cinta keluarga......Hanya itu......

"Dian, loe ga' boleh ngomong gitu. Ntar loe dapet karma baru tau rasa loe..! aku yang pernah patah hati aja ga' gitu-gitu amat nanggapin cinta."

Aku slalu dengerin kalimat itu dari fara, sahabatku yang aku ceritain barusan. Kadang aku heran ama Fara, kok bisa-bisanya ya dia ga’ jera walaupun udah 5 kali pacaran dan putus karna pacarnya ketahuan selingkuh.

Aku sendiri juga ga’ tau kenapa aku bisa trauma cuma karna seorang cowok. aku tau ini g adil, masa lalu yang pernah aku alamin bukan salah 'cinta' . Semua tu terjadi karna Rei…Arrgh, kucing garong itu. Aku terlalu percaya ma dia, bahkan ampe sekarang aku masih percaya kalo suatu hari nanti dia bakal balik buat aku. Ntah kenapa aku masih sayang banget ma dia, aku ga tau apa salah aku sampai dia pergi gitu aja tanpa pamit ma aku.

“Dian..Dian…sebenernya apa sih yang loe suka dari cowok gak jelas itu?” Tanya Fara suatu waktu saat kami menghabiskan weekend bersama. Aku terdiam, berfikir sejenak. Bingung.

“Entahlah. Dibilang baik, tapi juga bandel. Dibilang cakep, juga gak cakep-cakep banget. Dibilang sholeh, juga masih suka nunda-nunda sholat. Dibilang kaya, juga biasa aja sih. Apa ya yang bikin aku suka ma dia??”  Jawabku. Fara hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawabanku.

Ah…ini gila. Aku mengenalnya di usia 15 tahun. Jatuh cinta di usiaku yang begitu muda, bukankah ini hanya cinta monyet yang gampang pudar? Hanya 2 bulan aku bersamanya. 2 bulan yang tidak begitu istimewa bersama orang yang biasa saja. Dan 7 tahun ini ku habiskan hanya untuk berusaha melupakannya dan menerima kenyataan bahwa selama 7 tahun ini sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaannya.

“Terima kasih karena sudah menyayangiku. Tapi aku minta maaf, aku tidak bisa menerima ajakanmu untuk berpacaran. Aku harap kamu bisa memaklumi jawabanku.” Jawabku sambil memainkan ujung jilbabku saat memberi jawaban kepada Egi, teman kantor yang usianya terpaut setahun diatasku.

“Aku yang harusnya minta maaf ke kamu Dian. Aku udah bisa menduga jawabanmu. Kamu seorang akhwat yang baik. Sebenarnya aku sangat ingin melamarmu, tapi aku belum siap untuk menikah. Di lain sisi aku juga tidak mau ngambil resiko kehilangan kamu. Makanya aku mencoba keberuntunganku. Terima kasih karena kamu sudah menanggapi dan memberiku jawaban.” Senyum tulus terukir di wajahnya.

Dalam hati aku merasa sedikit sedih. Bukan karna menyesal telah menolak pria tampan yang baik hati itu. Tapi aku menyesal karena telah menggunakan alasan jilbab untuk menutupi perasaan hatiku yang sebenarnya. Ya Allah semoga secepatnya aku bisa benar-benar menjalankan perintahmu dengan ikhlas, bukan sekedar alasan untuk menutupi sakit hatiku. Baru empat bulan ini aku memasuki dunia kerja dan memutuskan untuk mengenakan jilbab. Berusaha untuk terus memperbaiki diri. Memang belum sempurna, tapi aku percaya semua usaha itu butuh proses, dan semua proses selalu butuh waktu. Sekarang aku sudah lebih tenang dan bisa bersikap lebih dewasa dalam menyikapi masalah hidup.

“Nak, tiga bulan lagi usia mu 23 tahun. Kuliahmu sudah selesai. Kamu juga sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus. Bunda rasa sudah saatnya kamu memikirkan tentang masa depanmu. Apa kamu belum punya seseorang yang menawan hatimu? Bunda koq belum pernah mendengar kamu membicarakan seorang laki-laki?” Tanya Bunda sore itu sambil membelai rambutku yang tiduran dipangkuannya.

“Iya nduk. Benar kata Bundamu. Kapan kamu mau memperkenalkan pacarmu sama Ayah dan Bunda?” Sambung Ayah.

“Dian belum punya pacar, Yah. Dian masih mau fokus kerja dulu, kan baru enam bulan Dian diterima kerja, Bun. Dian mau membuktikan kalo Dian sanggup bersaing di dunia kerja. Dian juga harus mempertanggungjawabkan nilai-nilai Dian yang cumlaude.” Kilahku.

“Iya sayang, Bunda tau maksud kamu baik. Bunda hanya penasaran karena kamu tidak pernah menyebutkan nama seorang pria, selain Reihan pacarmu waktu SMA itu. Ada juga si kang Asep tuh, tukang ojek di pengkolan jalan.” Goda Bunda sambil mencolek pinggangku.

“Ih Bunda, apaan sih. Masa’ sama kang Asep sih? Bunda mau anak bunda dijadiin istri keduanya kang Asep?” Gerutu ku manja. Meskipun sedikit terkejut, tapi aku yang sekarang sudah bisa mengendalikan diri meskipun nama Reihan disebut. Bunda hanya geleng-geleng kepala melihatku.

“Boleh saja jadi wanita karier, tapi jangan sampai kamu tidak menikah karena sibuk mengejar karier. Yo nduk.” Nasihat Ayah lagi.

“Iya Ayah sayang. Hmm… Masalah jodoh Dian serahin sepenuhnya ke Ayah dan Bunda aja. Dian tidak punya seseorang yang spesial. Silahkan Ayah dan Bunda yang menyeleksi buat Dian.” Jawabku. Ayah dan Bunda terkejut mendengar jawabanku.

“Kamu serius nak? Kamu mau dijodohkan?” Tanya Ayah.

“Yap.” Aku mengganguk mantap. Entah apa yang membuatku mengambil keputusan itu. Tapi aku serius dan merasa sangat yakin dengan keputusan itu. Semoga Allah ridho dengan keputusanku.

“Baiklah. Jika nanti Ayah menemukan seseorang yang cocok, akan Ayah kenalin ke kamu. Kamu boleh kenalan dululah, sahabatan. Kalau bisa sampai pacaran ya Alhamdulillah.” Kata Ayah bersemangat. Aku tertawa mendengar kata-kata Ayah.

“Dian gak mau pacaran ah, Yah. Jadi tugas Ayah nyariin calon suami buat Dian, bukan calon pacar.” Jelasku.

“Owalah nduk. Bunda dan Ayah tidak mau loh kalau sampai rumah tanggamu nanti berantakan karena kamu menjalaninya terpaksa. Nanti kamu nuntut Ayah dan Bunda lagi.” Canda Bunda.

“Ya enggaklah, Bun. Insya Allah Dian bisa menjalani rumah tangga yang bahagia.”

“Lalu, kenapa kamu begitu yakin menyerahkan masalah calon suami ke Ayah dan Bunda?” Selidik Bunda lagi. Mungkin beliau agak heran dengan permintaan anak bungsunya yang sedikit aneh. Di zaman sekarang ini orang-orang memang lebih cenderung tidak melibatkan orangtua dalam hal memilih jodoh.

“Dian kan ngerti sifat Ayah dan Bunda. Ayah dan Bunda bukan tipe orangtua yang rela jual anaknya ke juragan sapi demi 2 ekor sapi kan?” Candaku sambil mengedipkan mata. Ayah dan Bunda tertawa.

“Dian tau Ayah dan Bunda pasti memilihkan yang terbaik buat Dian. Pilihkan calon imam yang bisa membimbing Dian ya.” Lanjutku lagi dengan yakin. Ayah dan Bunda hanya bisa tersenyum mendengarkan ku.

Dua bulan sebelum ulang tahunku, aku di percaya untuk menemani mbak Citra, atasanku, menangani proyek di luar kota selama 40 hari. Alhamdulillah, ini merupakan hadiah ulang tahun yang indah. Dimasa kerja ku yang terbilang masih baru, aku dipercayakan untuk mengemban tugas besar ini.

Seminggu pertama di kota yang baru ini sungguh terasa berat. Selain jadwal yang lumayan padat, aku dan mbak Citra belum terbiasa dengan kemacetan dikota ini. Bahkan kita sempat hampir terlambat meeting karena tidak memperkirakan kemacetan yang terjadi, bahkan kita sudah sengaja berangkat dari hotel satu setengah jam sebelum meeting dimulai. Hari-hari selanjutnya agak lebih santai. Pekerjaan sudah tidak sebanyak sebelumnya.

Dihari kesepuluh ku di kota ini, aku mendapat telpon dari rumah. Aku sangat senang. Ini kedua kalinya aku berbicara dengan Ayah dan Bunda sejak aku disini. Yang pertama ketika aku memberi kabar sesaat setelah turun dari pesawat.

“Assalamu’alaikum. Ayah, Bunda, Dian kangen.” Rengek ku manja saat menerima telpon.

“Wa’alaikumsalam. Iya sayang, Ayah dan Bunda juga kangen Dian. Bagaimana keadaan kamu disana nak? Makannya teratur kan?” Terdengar suara lembut Bunda bagaikan air yang mengalir menyejukkan hati.

“Alhamdulillah Dian sehat. Makannya juga teratur koq Bun. Ayah dan Bunda juga sehatkan?” Tanyaku balik.

“Iya sayang. Alhamdulillah Ayah dan Bunda sehat nak.” Jawab Bunda. Sesaat kemudian terdengar suara telpon yang berpindah tangan, disusul suara Ayah dan Bunda saling bergantian “Ada yang mau Ayah omongin nih nak.” Kata Bunda. “Bunda yang ngomong langsung aja.” Balas Ayah. “Ayah aja deh yang ngomong…” seru Bunda sambil menyerahkan telpon ke Ayah. “Gak apa-apa, Bunda aja sekalian.” Jawab Ayah sambil menyerahkan kembali telpon ke Bunda. “Enggak deh, Ayah aja.” Tolak Bunda.

“Ih…wow..wow…ada apa sih Ayah dan Bunda. Koq malah lempar-lemparan gitu. Gak mau ngomong sama Dian ya??” Potong ku dengan nada bercanda.

“Bukan begitu. Ini nak, soal perjodohan yang waktu itu kita bicarakan.” Akhirnya Ayah memutuskan untuk mengakhiri permainan ‘lempar-lemparan telpon’ dan memulai pembicaraan. Ayah terdiam, cukup lama. Sepertinya beliau ingin mendengar responku.

“Iya Ayah. Dian serius koq.” Jawabku cepat. Jantungku berdetak lebih kencang, penasaran dengan kelanjutan kalimat Ayah yang terpotong.

“Jadi, tadi sore Ayah dan Bunda kedatangan tamu. Seorang pemuda bersama orangtuanya.” Ayah terdiam lagi.

“Maksud kedatangan mereka adalah untuk menanyakan apakah putri bungsu Bunda sudah ada yang meng-khi.. khi.. apa tadi bahasanya Yah?.” Kali ini Bunda yang melanjutkan kalimat Ayah.

“Khitbah Bun. Lalu?” Tanyaku cepat sambil tersenyum geli.

“Tenang Dian, cuma nanya doank koq.” Pikirku menenangkan diri.

“Iya itu. Jika memang belum ada yang punya, dia bermaksud melamarmu menjadi istrinya.” Jelas Bunda.

Aku tercenung beberapa detik, secepat inikah ya Allah?

“Oh ya? Padahal Dian belum pasang iklan di koran dan majalah loh Bun kalo Dian mau sedang mencari suami.” Aku mencoba becanda untuk menutupi kegugupanku.

“Mungkin dia melihat pamflet yang disebarkan Allah untuk mempromosikanmu.” Ayah membalas candaanku.

Ya Allah, skenario apa yang sedang Engkau persiapkan untuk hambamu yang lemah ini? Aku tahu Engkau Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik untuk hambamu, tapi apakah aku sudah siap untuk menerima kehadiran sosok baru dalam rumahku kelak? Apakah hatiku sudah siap untuk mencintai suamiku sepenuh hati dan apakah aku sudah siap untuk menjadi istri yang berbakti?

“Bagaimana orangnya Yah?” Tanyaku lagi, mencoba mencari sisi baiknya untuk menguatkan hatiku yang mulai goyah.

“Ya seperti pemuda kebanyakan, punya 2 mata, 2 telinga, 2 tangan, 2 kaki, mulut dan hidung.” Tanggapan Ayah membuatku terpingkal. Terdengar suara Ayah berteriak lucu, sepertinya dicubit oleh Bunda karena guyonannya itu.

“Alhamdulillah fisiknya sempurna.” Jawabku masih setengah tertawa.

“Bagaimana hubungannya dengan keluarganya? Bagaimana sikapnya kepada orangtua? Apakah dia menghormati orang tuanya?” Selidikku lagi. Tentu saja aku menginginkan suami yang bisa mencintai keluarga kami kelak. Ini hal yang lumrah kan Ya Allah?

“Alhamdulillah baik nduk. Orangnya sopan, sama orang tua juga sayang. Kalau punya keluarga sendiri, Insyaallah tidak akan disia-siakan.” Jawab Ayah seolah mengerti maksud pertanyaanku.

“Terus-terus agamanya gimana Yah? Bisa jadi imam yang baik gak?”

“Belum sempurna, tapi keliatannya akan semakin membaik.” Jawab Ayah lagi.

“Aamiin. Udah kerja Yah?”

“Udah. Dia kerja di.. dimana namanya tadi Bun?” Kalimat Ayah terpotong, Bunda pun tidak dapat melanjutkan.

“Ahh…kerja dimana itu gak begitu penting Yah.” Jawabku cepat. Ya, gak begitu penting dia kaya atau miskin, yang penting dia punya pekerjaan untuk menafkahi keluarga kami kelak. Lagipula aku juga punya simpanan yang sengaja aku sisihkan untuk anak-anakku kelak. Oh pikiranku… Apa ini berarti aku akan menerima pemuda itu??

“Jadi gimana nduk?” Bunda mengambil alih telpon.

“Hmm…gimana ya Bun? Dian belum bisa jawab sekarang. Kasi Dian waktu ya Bun. Dian mau konsultasi dulu sama Sang Penentu Jodoh.” Pintaku manja.

“Iya sayang. Ini bukan hal yang sepele, konsekuensinya adalah kebahagiaanmu dunia akhirat nak. Mintalah petunjuk pada Sang Pemilik Hati. Insyaallah skenario –Nya selalu lebih indah dari yang bisa kita bayangkan.” Jawab Bunda menenangkanku.

“Menurut Ayah dan Bunda gimana? Suka gak kalau dia yang jadi menantu Ayah dan Bunda? Ya gimanapun, restu Ayah dan Bunda sangat Dian butuhkan dalam mengambil keputusan ini.”

“Ayah dan Bunda suka. Anaknya baik, berasal dari keluarga baik-baik dan punya kemauan untuk terus memperbaiki diri. Tapi, apapun keputusanmu nanti, Bunda dan Ayah hanya bisa berdo’a semoga kamu mendapatkan jodoh yang terbaik.” Doa’ Bunda mengakhiri pembicaraan yang cukup serius ini.

Aku merebahkan diri di kasur. Mencoba menata ulang puzzle yang berserakan di kepalaku tentang pembicaraan yang baru saja berakhir.

“Pernikahan…” Ucapku perlahan. Kulihat jam di layar hp ku, pukul 22.15. Aku bangkit, mematikan lampu kamar dan kembali merebahkan diri di kasur.

*****

“Aku sih pengennya punya istri yang kaya’ pemeran wanita di film tadi itu. Anggun, lemah lembut, menyejukkan mata saat dipandang, sholeha pula, lengkap deh pokoknya. Gak kaya’ kamu Di, hobinya manjat2 pohon.” Cerocos Reihan.

“Kalo aku pengennya punya suami yang hafal Ar-Rahman. Jadi ntar waktu nikah, aku dihadiahin Ar-Rahman deh. Ahh…so sweet. Nyari anak pak ustadz yang alim nih harusnya, gak kaya’ kakak yang kadang2 sholat, lebih sering enggaknya.” Balasku.

*****

Opening theme song Detective Conan mengalun keras dari hp ku. Aku tersentak. Aku sengaja memilih lagu itu sebagai alarm karena musiknya cukup keras untuk membangunkanku dan juga karena aku menyukainya. Pukul 2 pagi. Aku memegangi kepala, pusing. Masih kaget dengan suara nyaring yang membangunkanku, juga bingung dengan mimpi ku tadi. Penggalan kejadian yang sudah sangat lama. Tersimpan di tumpukan paling bawah dari laci ingatanku. Malam mingguan ketiga kami setelah jadian. Rencana nonton bioskop yang harus diawali dengan manjat pohon untuk terbebas dari kejaran anjing karena kaleng minuman yang ku buang asal, tanpa sengaja mengenai anjing penjaga toko buku yang kita lewati. Untungnya si anjing segera berlalu. Benar-benar kejadian konyol.

Tanpa sadar air mata mengalir tak terbendung. Ya Allah, aku masih merindukannya. Tak ingin berlama-lama terombang-ambing dalam masa lalu, aku segera bangun. Ku nyalakan keran di kamar mandi untuk ber-wudhu. Ya, banyak yang ingin aku adukan pada –Mu di sepertiga malam yang terakhir ini. Semoga Engkau tak jenuh dengan semua rengekan-rengekanku.

Ya Allah…
Jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu,
agar bertambah kekuatanku untuk mencintai-Mu

Ya Allah…
Jika aku jatuh hati,
izinkan aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu,
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu.

Ya Rabbul Izzati…
Jika aku rindu,
rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu

Ya Allah…
Jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat
di sepertiga malam terakhir-Mu.

Ya Allah…
Jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu,
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh
dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu.

Ya Allah…
Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu,
telah berjumpa pada taat pada-Mu,
telah bersatu dalam dakwah pada-Mu,
telah berpadu dalam membela syariat-Mu.
Kokohkanlah ya Allah ikatannya,
kekalkanlah cintanya,
tunjukilah jalan-jalannya,
penuhilah hati-hati ini dengan nur-Mu yang tiada pernah pudar.

Teringat sepenggal do’a si pemeran utama wanita dalam salah satu film yang pernah kutonton. Aku pun mulai merangkai do’aku sendiri.

“Ya Allah, jika dia, pemuda yang bernama…” Aku terdiam. Aku lupa menanyakan namanya pada Ayah dan Bunda. Ku flashback pembicaraanku dengan Ayah dan Bunda tadi, mencoba mencari nama si pemuda, tidak ada. Apakah karena Ayah dan Bunda yang memang tidak sekali pun menyebutkan namanya, atau karena aku yang kurang memperhatikan pembicaraan Ayah dan Bunda, entahlah. Sekali lagi kucoba menemukan sebuah nama dari pembicaraan tadi. Percuma… Tidak ada satu nama pun yang terlintas di ingatanku. Lalu, bagaimana ini? Bagaimana dengan kelanjutan do’aku? Aarrghh…bodohnya aku!!

“Ya Allah, aku yakin Engkau Maha Mengetahui. Sore ini ada seorang pemuda yang dengan berani mendatangi orangtua ku bermaksud untuk menjadikanku istrinya. Keberaniannya itu pastilah juga dari kekuatan yang Engkau pinjamkan padanya. Si pemuda ini, yang bahkan tidak ku ketahui namanya, pastinya Engkau lebih memahaminya. Jika memang Engkau mengirimnya untuk membimbingku ke Jannah –Mu, maka berikanlah keikhlasan kepadaku dan kepadanya untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan masing-masing kami. Tumbuhkanlah benih-benih cinta diantara kami sehingga kami bisa saling menguatkan kecintaan kami pada –Mu. Limpahkanlah kesabaran tak terbatas kepada kami dalam menjalani amanah ini. Kuatkanlah hati kami untuk selalu berada dalam agama –Mu. Ya Allah, banyak yang ingin ku sampaikan pada -Mu, tapi tak dapat ku temukan kata-kata yang tepat untuk menyampaikannya. Engkau Maha Mengetahui apa yang ada dihati dan pikiranku, berikanlah yang terbaik untuk ku. Aamiin.”

Inilah do’aku. Jika ada yang mendengarnya, mungkin mereka akan tertawa dengan pemilihan kata-kataku itu. Cukuplah Allah yang mengerti segala kegundahanku. Dan kamu, pemuda yang berada disana, apakah seperti ini kegundahan yang kamu rasakan sebelum memutuskan untuk mendatangi rumahku? Bagaimana kamu bisa memilih aku? Apakah kita saling mengenal? Apakah kamu memilih rumahku secara acak? Ataukah alamatku tertulis dalam pamflet yang diberikan Allah dalam mimpimu? Entahlah. Aku hanya bisa berharap ini takdir yang di gariskan Allah untuk kita.

-bersambung-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline