Lihat ke Halaman Asli

Meminimalisir Stigma Terhadap Odha Waria

Diperbarui: 3 Agustus 2015   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Epidemi HIV sudah menjadi masalah global. Semua negara melakukan usaha-usaha pengendalian HIV/AIDS untuk menekan angka penularan dan penyebaran HIV. Usaha ini dilakukan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan masyarakat, organisasi donor dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Masyarakat dan LSM sebagai pelaku utama, sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung upaya pengendalian HIV dan AIDS berjalan lancar.

Sebagai aktivis HIV/AIDS perlu pembekalan yang cukup dan harus siap menghadapi permasalahan yang ada di lapangan. Para aktivis inilah yang akan turun secara langsung di lapangan. Informasi HIV/AIDS yang diberikan kepada masyarakat pun harus benar dan tepat. Pada kesempatan ini saya berdiskusi tentang stigma (cap buruk) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang terjadi di lapangan dengan beberapa aktivis HIV/AIDS waria. Banyak sekali temuan terkait dengan stigma yang ada di lapangan. Hasil diskusi menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor penyebab timbulnya stigma, yaitu:

  • Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS
  • Adanya persaingan diantara teman dan saling menjatuhkan
  • Odha merasa tidak nyaman dengan statusnya sehingga mereka berusaha menutup diri dan menjaga jarak dengan masyarakat

Dari faktor-faktor tersebut muncullah beberapa stigma terhadap Odha, yaitu:

  • Odha waria dianggap sebagai “sampah” masyarakat
  • Perilaku seks Odha tidak aman (tidak memakai kondom)
  • Odha waria kena “kutukan” karena perilaku seksnya yang menyimpang

Meminimalisir stigma terhadap Odha tidaklah mudah. Perlu waktu dan metode yang tepat. Sebagai aktivis HIV/AIDS, stigma merupakan permasalahan yang harus bisa diselesaikan. Tidaklah mudah meminimalisir stigma. Beberapa orang aktivis HIV/AIDS mengambil langkah-langkah untuk meminimalisir stigma Odha, yaitu:

  • Sosialisai pengetahuan HIV/AIDS ke masyarakat
  • Sosialisasi pemakaian kondom yang baik dan benar
  • Open status bagi Odh
  • Pembentukan kader yang peduli dengan masalah HIV/AIDS

Kalau saya cermati langkah-langkah yang dilakukan oleh aktivis HIV/AIDS di atas, timbullah pertanyaan bagi saya, yaitu: Apakah langkah-langkah tersebut sudah tepat sasaran dan berapa lama langkah-langkah tersebut akan membuahkan hasil?

Langakah-langkah yang dilakukan oleh aktivis HIV/AIDS sudah benar tetapi menurut saya perlu metode dan inovasi yang tepat. Saya akan mencoba memberikan solusi bagi aktivis HIV/AIDS untuk meminimalisir stigma yang ada di lapangan. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk meminimalisir stigma di lapangan, yaitu:

  • Sosialisasi Pengetahuan HIV/AIDS berdasarkan karakterikstik daerah. Aktivis harus cermat terhadap karakter masyarakat yang ada wilayah tertentu. Beda wilayah, beda juga karakteritik masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Sebagai aktivis janganlah bersosialisasi yang bersifat “nasional” tetapi bersosialisasilah yang bersifat “kedaerahan”. Ada istilah, “Jangan memberikan keju kepada masyarakat Papua apabila masyakarat Papua lapar.” Istilah tersebut menggambarkan kepada aktivis, apabila kita bersosialisai ke masyakat Papua, kita harus paham benar dengan karakteristik masyarakat Papua. Pengetahuan HIV/AIDS harus dikemas sedemikian rupa agar masyarakat benar-banar paham dan mengerti. Semakin masyarakat paham dan mengerti tentang HIV/AIDS, stigma sosial yang diberikan kepada Odha akan berkurang. Harapan saya agar Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) membuat metode sosialisasi berdasarkan karakteristik daerah.
  • Pendampingan Odha secara psikologis. Pendampingan secara psikologis sangat dibutuhkan bagi Odha yang baru mengetahui statusnya, dukungan moral dan mental sangat dibutuhkan. Pendampingan secara psikologi harus dilakukan secara berkelanjutan sampai Odha bisa menerima dirinya (penerimaan diri). Dalam pendampingan secara psikologis ini harus melibatkan para Odha lama yang sudah berpengalaman baik dari segi psikologisnya maupun penerimaan dirinya. Hal ini dilakukan agar Odha lama dapat memberikan teladan semangatnya kepada para Odha yang lemah secara psikologis.
  • Pembentukan kader yang berjiwa sosial. Relawan HIV/AIDS yang bekerja tanpa pamrih akan melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan sepenuh hati, dibandingkan relawan yang bekerja demi materi. Tugas dan tanggungjawab relawan adalah menyampaikan informasi pengetahuan HIV/AIDS. Tugas dan tanggungjawab ini akan efektif bila yang bekerja ada relawan lokal, sebab mereka sangat memahami karakteristik di daerah yang mereka diami.

Stigma terhadap Odha adalah permasalahan yang nyata di lapangan komunitas maupun masyakarat, yang perlu kita lakukan adalah meminimalisir stigma tersebut. Upaya mereduksi stigma merupakan bidang yang menjadi perhatian khusus Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Kita berharap di Pernas AIDS V Makasar 2015,  masalah stigma terhadap Odha dapat di bahas dan ditemukan metode yang tepat. *

Foto: Ilustrasi (Repro: moneyaware.co.uk)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline