Lihat ke Halaman Asli

nadia alfira

Mahasiswa

Sosial Media dan Fenomena FYP Culture di Kalangan Gen Z

Diperbarui: 15 Oktober 2024   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era digital, sosial media seperti TikTok, Instagram, dan Twitter menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi Gen Z. Salah satu fenomena menarik yang muncul adalah budaya "FYP" (For You Page) yang menguasai pikiran dan perilaku netizen. Fenomena ini bukan sekadar mengikuti tren atau mendapatkan perhatian, tetapi juga membawa dampak yang jauh lebih luas terhadap cara anak muda berinteraksi, mencari validasi, dan memengaruhi masyarakat secara keseluruhan.

1. "FYP or Nothing": Obsesinya Gen Z pada Konten Viral

FYP di TikTok telah menjadi semacam tolak ukur kesuksesan bagi kreator konten. Konten yang masuk ke FYP dianggap sebagai "pencapaian" karena bisa mendatangkan ratusan ribu hingga jutaan views dalam waktu singkat. Bagi Gen Z, FYP adalah kesempatan emas untuk mendapatkan popularitas instan---dan ini menjadi daya tarik utama. Tidak heran, banyak dari mereka yang berlomba-lomba membuat konten kreatif, lucu, atau bahkan kontroversial hanya demi viral.

Namun, di balik keinginan untuk masuk FYP, ada tekanan besar. Banyak kreator konten yang merasa harus terus-menerus membuat video baru agar tetap relevan. Tekanan ini bisa menyebabkan burnout, stres, atau bahkan rasa rendah diri jika konten mereka gagal viral. Hal ini mencerminkan sisi gelap dari budaya "FYP or nothing" di mana validasi diri bergantung pada jumlah likes, views, dan komentar yang mereka dapatkan.

2. Drama dan Kontroversi: Daya Tarik dan Bahayanya

Salah satu tren yang sering muncul di FYP adalah konten drama atau kontroversial. Entah itu pertengkaran antar-selebgram, gosip, atau debat panas tentang isu tertentu, drama selalu berhasil menarik perhatian netizen. Sayangnya, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana sosial media sering kali memanfaatkan emosi negatif untuk menarik engagement.

Gen Z, yang tumbuh di era digital, sering kali terjebak dalam lingkaran drama ini. Mereka terlibat dalam perdebatan panas, memilih sisi, dan tak jarang melakukan "cyberbullying" terhadap pihak yang dianggap salah. Ini menunjukkan bagaimana sosial media bisa menjadi lingkungan yang toksik jika tidak digunakan dengan bijak. Konten drama memang menarik perhatian, tapi juga bisa merusak hubungan sosial dan memicu konflik yang tak perlu.

3. Tren Self-Validation: Ketika Likes dan Views Menjadi Ukuran Diri

Dalam dunia sosial media, validasi eksternal menjadi sangat penting. Banyak anak muda yang merasa nilai diri mereka diukur dari seberapa banyak likes atau views yang mereka dapatkan. Fenomena ini dikenal sebagai "self-validation" di mana seseorang merasa baik atau buruk tentang dirinya berdasarkan respon netizen terhadap konten mereka.

Hal ini bisa berdampak serius terhadap kesehatan mental. Ketika konten tidak mendapatkan respons yang diharapkan, perasaan kecewa, insecure, bahkan depresi bisa muncul. Di sisi lain, konten yang viral sering kali mendorong seseorang untuk terus-menerus mengejar angka yang lebih tinggi, membuat mereka kehilangan fokus pada hal-hal yang lebih penting dalam hidup. Gen Z perlu lebih sadar bahwa media sosial hanyalah satu aspek dari kehidupan, dan validasi sejati seharusnya datang dari diri sendiri, bukan dari angka di layar.

4. Fenomena "Sosial Media Activism": Suara Gen Z di Dunia Nyata

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline