Rakyat Indonesia baru saja "dihadiahi" peraturan yang sudah sejak lama dinanti. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Indonesia akhirnya berhasil mengesahkan KUHP-nya sendiri setelah 64 tahun merancang. Namun, apakah KUHP ini setimpal dengan penantiannya? Demonstrasi dan penolakan oleh rakyat dimana-mana menjawab pertanyaan ini.
Penolakan dilakukan ini bukan tanpa alasan, pasalnya masih banyak masalah-masalah yang disimpan peraturan ini. Mulai dari banyaknya pasal bermasalah, kurangnya partisipasi dan tranparansi saat pembuatan, hingga tidak ditindaklanjutinya protes rakyat. Persoalan-persoalan ini menjadi alasan utama terjadinya penolakan rakyat atas peraturan ini. Sayangnya, itu tidak cukup menjadi dasar bagi pemerintah untuk menunda pengesahan KUHP ini karena pada 6 Desember 2022 lalu, KUHP lahir di tengah-tengah kita.
Pasal-Pasal Pengundang Tanda Tanya
KUHP banyak menyimpan pasal-pasal bermasalah, mulai dari pasal yang membahayakan hak berpendapat rakyat hingga pasal yang terlampau jauh mengurusi ranah privasi rakyat. Pasal 218 sampai 220 KUHP tentang Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden misalnya. Pasal ini sebenarnya tidak dibutuhkan karena Indonesia bukan negara monarki yang kepala negaranya merupakan simbol negara. Presiden dan Wakil Presiden Indonesia bukanlah simbol negara dan seharusnya terbuka kepada komentar-komentar rakyatnya. Pasal ini pun sebenarnya sudah diamanatkan untuk tidak dimuat Kembali oleh Mahkamah Konstitusi ("MK")
Lebih lanjut, Pasal 351 dan 352 KUHP yang melarang rakyat untuk menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, yakni Dewan Perwakilan Rakyat ("DPR"), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ("DPRD"), Kepolisian Negara Republik Indonesia ("Polri"), Kejaksaan Republik Indonesia, dan pemerintah daerah. Pasal ini juga tidak kalah membingungkan karena pembedaan antara penghinaan dan kritik bisa saja menerima interpretasi yang berbeda-beda. Lalu, bagaimana jika ada pejabat negara yang lewat tindakannya seakan menghina jabatannya sendiri? Bisakah pasal ini memidana mereka?
Di Mana Transparansi dan Partisipatif Pembuatan KUHP?
Rakyat banyak yang merasa pengesahan KUHP ini tidak transparan dan partisipatif. Hal ini karena bagi rakyat, untuk mendapatkan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("RKUHP") saja sangat sulit. Padahal, hal ini penting agar rakyat juga ikut berpartisipasi dan menyumbang aspirasi dalam pembuatannya. Seharusnya ada meaningful participation dalam pembuatan RKUHP. Meaningful Participation sendiri diartikan oleh MK sebagai hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Protes Rakyat Seakan Angin Lalu bagi Pemerintah
Rakyat sudah berulang kali melakukan demonstrasi terhadap RKUHP ini. Namun, berulang kali juga demonstrasi tersebut diabaikan. Seakan angin lalu, RKUHP akhirnya disahkan menjadi KUHP begitu saja. Tanpa revisi ataupun kajian ulang terhadap berpuluh-puluh pasal bermasalahnya. Setelah KUHP disahkan pun, masih saja ada demonstrasi dan penolakan dari rakyat Indonesia. Namun, respon pemerintah adalah nihil. Mereka malah menyarankan rakyat yang ingin protes untuk mengajukan Judicial Review ke MK. Kesannya, itu adalah hal yang wajar untuk pemerintah dan DPR membuat peraturan secara asal-asalan karena nanti akan diajukan lagi ke MK. Padahal, yang perlu mereka ketahui adalah bahwa untuk membuat peraturan yang baik ialah sebuah kewajiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H