Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan terus dikampanyekannya pesimisme tentang kondisi ekonomi Indonesia oleh para elit politik, faktanya Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang sangat positif di kuartal III (Q3) 2018. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, pun demikian dengan angka pengangguran yang lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia Q3 2018, yaitu 5,17%. Tidak hanya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi di Q3 2017 (5,06 %), pertumbuhan ekonomi tahun ini pun lebih tinggi dibanding Q3 2016 (5,02 %), dan Q3 2015 (4,73 %). Artinya, selama 4 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia konsisten terus menerus tumbuh. Bandingkan di saat yang sama, pertumbuhan ekonomi Cina dan Singapura justru melambat.
Yang menarik, pertumbuhan ekonomi 5,17 % di Q3 2018 jauh di atas prediksi BI bahkan para ekonom INDEF yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berada di bawah 5,1 %. Pertumbuhan ekonomi yang lajunya lebih kencang didukung oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,01 % lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Q3 2017 sebesar 4,99 %. Jangan lupa, konsumsi rumah tangga adalah kontributor utama PDB Indonesia dengan porsi 55,26 %. Dari sini kita seharusnya dapat dengan mudah memahami daya beli masyarakat justru meningkat, karena konsumsi masyarakat semakin tinggi.
Opini yang digulirkan bahwa rakyat menjerit karena tidak bisa membeli barang dengan sendirinya terbantahkan dari data dan fakta yang ada. Setelah konsumsi rumah tangga, sektor yang paling berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah investasi yang tumbuh 6,96 %. Porsi investasi dalam PDB adalah 32,12 %, terbesar kedua setelah konsumsi rumah tangga. Jadi, opini yang mengatakan investasi pembangunan infrastruktur tidak mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah hal yang keliru fatal.
Hal yang tidak kalah penting adalah fakta bahwa jumlah pengangguran per Agustus 2018 semakin menurun (5,34% / sekitar 7 juta orang) dibandingkan Agustus 2017 (5,50%). Sebaliknya, jumlah penduduk yang bekerja semakin banyak. Pada Agustus 2018 jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 131,01 juta orang (67,26 %), lebih banyak dibandingkan Agustus 2017 yang jumlahnya 128,06 juta orang (66,67 %). Fakta ini sekaligus mementahkan pendapat para elit politik yang terus mengatakan bahwa mencari pekerjaan semakin sulit dan pengangguran semakin tinggi.
Memang, jika dibandingkan dengan Februari 2018 (5,13 %), jumlah pengangguran per Agustus 2018 (5,34 %) meningkat. Namun perlu dicatat, jumlah pengangguran Agustus 2017 (5,50 %) pun meningkat jika dibandingkan dengan Februari 2017 (5,33 %). Akan tetapi, jika dibandingkan secara y-o-y, semuanya konsisten menurun. Ini yang dinamakan oleh kurva normal.
Jadi, jangan sampai salah membaca data lantas mempolitisasinya. Tidak hanya dari segi jumlah, faktanya peningkatan jumlah (kuantitas) orang yang bekerja diiringi kualitas, setidaknya jika itu dilihat dari sektor pekerja formal (sektor formal dianggap lebih berkualitas karena ada jaminan/ buruh tetap) yang semakin meningkat.
Pada Agustus 2018, jumlah pekerja formal tercatat 53,52 juta orang (43,16%), jumlah itu meningkat dibandingkan Agustus 2017 yang jumlahnya hanya 51,87 juta orang (41,65 %). Sebaliknya, jumlah pekerja informal semakin sedikit dibandingkan tahun lalu. Pada Agustus 2017 jumlah pekerja informal mencapai 72,67 juta orang (58,35%), namun pada Agustus 2018 jumlahnya berkurang menjadi 70,49 juta orang (56,84%). Artinya, semakin banyak buruh yang sejahtera dalam hal ini.
Dalam ekonomi, berpendapat tentu boleh saja, namun data dan fakta yang ada tidak bisa dielakan dan dihindari. Sekali lagi, berbicara ekonomi adalah bicara tentang angka dan statistik, bukan bicara soal rasa bahkan prasangka yang sifatnya politis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H