Lihat ke Halaman Asli

IHSG Baru Sentuh 5.000 Tahun 2016, Kenapa Sekarang 5.683 Kita Panik?

Diperbarui: 5 September 2018   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pergerakan saham. market.bisnis.com


Khusus hari ini Rabu (5/9/2018) memang saya coba pantau pergerakan saham Indonesia (IHSG). Tentu karena perbincangan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar di media sosial warganet Indonesia semalam membuat saya penasaran melihat kondisi ekonomi makro Indonesia. Nampaknya warganet Indonesia cenderung over panic, mungkin ini dipengaruhi juga oleh pasukan "nyinyir pemerintah" yang sangat senang melihat kondisi ekonomi kita saat ini.

 Hari ini IHSG turun sekitar 3 persen ke posisi 5.683 setelah kemarin berada di posisi 5.905. Banyak orang lantas seolah panik mengatakan, "ada apa IHSG?" Kalau kita mau sedikit berpikir dan membaca situasi saja, maka kepanikan sedikit pun tidak perlu singgah di benak kita. Kenapa?

Kita kok seperti dibuat lupa ya, baru di tahun 2016 IHSG kita menyentuh 5.000. Saat itu kita begitu takjub karena itu di luar ekspektasi. Bahkan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistiyo sampai merayakannya dengan pulang jalan kaki dari kantornya di Sudirman ke Pondok Indah. Hari ini IHSG masih jauh di atas 5.000 (walau memang turun) kok kita seakan ekonomi darurat. Secara ekonomi itu tidak masuk akal. 

Lagipula tidak hanya IHSG yang turun, ternyata bursa saham Asia juga semuanya turun. Indeks saham Hong Kong Hang Seng turun 1,76 persen, Indeks Saham Korea Selatan Kospi turun 0,26 persen, Indeks Saham Thailand turun 0,80 persen, dan indeks saham Singapura turun 0,77 persen. Hampir seluruh pengamat ekonomi mengatakan, penurunan yang terjadi karena faktor eksternal, seperti krisis keuangan di Venezuela, Argentina, Turki dan ancaman perang dagang antara Cina dan AS. 

Dari dalam negeri, overpanic rakyat Indonesia terhadap nilai tukar rupiah menjadi faktor penguat penurunan itu. Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Pubklik UGM A Tony Prasetiantono misalnya mengatakan, pelaku usaha di dalam negeri terlalu khawatir akan rupiah. Krisis di Venezuela, Turki, dan Argentina ditanggapi terlalu panik dan cenderung menyamakan dengan krisis di Asia 1998. Padahal jauh berbeda. 

Hari ini rupiah memang masih melemah, yaitu menjadi Rp 14.900 per dollar. Tetapi pelemahan itu dari Rp 13.700 dari 2017 (hanya melemah sekitar Rp 1.200). Beda halnya dengan tahun 1998 di mana rupiah Rp 15.000 per dollar di Januari 1998 dari yang semula Rp 2.300 di Oktober 1997 (melemah 12.700 dalam waktu beberapa bulan).

 Jadi, sangat tidak masuk akal kalau kita terlalu panik sekarang. Overpanik tentang ekonomi saya lihat lebih digaungkan oleh kubu anti Jokowi. Mereka kini "bertepuk tangan" bahkan dengan menyerukan hestek rupiah longsor Jokowi lengser. Sebagai contoh, Di Korsel, saat mata uang mereka lemah, rakyatnya mendukung Presidennya untuk mampu menghadapi masalah. Kita mau seperti apa?

Kini masyarakat dihadapkan dua pilihan, apakah ingin ikut-ikutan overpanik dengan alasan yang tidak masuk akal dengan konsekuensi rupiah dan IHSG akan semakin lemah karena faktor psikologis. Atau kita memilih jalan tetap menumbuhkan optimisme agar rupiah dan IHSG dapat bangkit karena faktor psikologis para pelaku usaha dalam dan luar negeri Indonesia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline