Lihat ke Halaman Asli

Banyak yang Tak Suka Freeport Dikuasai Indonesia

Diperbarui: 13 Juli 2018   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. sumber : bookriot.com

Setelah kemarin, Kamis (11/7/2018) di Jakarta Presiden Joko Widodo mengumumkan pemerintah telah berhasil ambil alih mayoritas saham di PT Freeport Indonesia (PTFI) yang diikuti penandatanganan Head Of Agrrement (HoA) oleh beberapa menteri dengan CEO Freeport McMoran Inc (FCX) Richard C. Adkerson pada sore harinya, jagat media sosial Indonesia pun gempar.

Apresiasi rakyat terhadap pemerintahan Jokowi pun seolah membanjiri, karena mengambil alih saham mayoritas perusahaan dengan cadangan emas terbesar kedua di dunia jelas dipandang prestasi. Itu karena setelah beroperasi puluhan tahun, pemerintah Indonesia hanya memiliki 9,36 persen saham, sisanya dimiliki oleh perusahaan asal negeri Paman Sam.

Seperti biasanya, di setiap capaian pemerintah, selalu ada saja orang -- orang Indonesia yang ragu, mempertanyakan, bahkan "nyinyir" terhadap apa yang dicapai pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, mereka merupakan orang terhormat secara jabatan, mulai dari pimpinan partai oposisi (bisa dimaklumi), pimpinan partai yang katanya mendukung pemerintah (sedikit aneh), hingga pimpinan DPR.

Nyinyir yang mereka sebut sebagai kritik bervariasi. Mulai dari penilaian bahwa pencitraan pemerintah yang membodohi rakyat, hingga mempertanyakan asal uang yang dianggap sangat besar untuk membeli saham PTFI. Tentu saja, semua itu menarik untuk ditanggapi, karena di era kemajuan teknologi saat ini, kita dapat dengan mudah melakukan kroscek atas berbagai argumentasi, sekalipun itu dilengkapi dengan data.

Pertama, anggapan pencitraan pemerintah yang melakukan pencitraan berlebihan. Penilaian itu muncul dengan alasan bahwa yang bekerja keras dalam "deal" antara Indonesia dan FCX, ialah Direktur Holding BUMN Inalum, Budi Sadikin. Oleh karena itu, #TerimaKasihJokowi tidak perlu ada. Logika sederhananya, jika tanpa dukungan (beckingan) dari pemerintah dan orang yang paling berkuasa di negeri ini, beranikah seorang direktur perusahaan milik negara bergerak dan melakukan keputusan besar?

Tidak main-main, pihak yang bernegosiasi ialah perusahaan tambang asal AS. Yang ditambang pun emas, salah satu logam yang berpengaruh besar terhadap kekuatan mata uang suatu negara di bursa asing. Ketersediaan emas digunakan sebagai nilai lindung terhadap inflasi. 

Kedua, anggapan bahwa transaksi soal Freeport ini yang sebenarnya masih jauh dari selesai. "Mereka" mengutip pernyataan Rio Tinto (perusahaan yang ber-joint venture dengan FCX) dari pemberitaan bloomberg.com yang mengatakan belum ada kepastian transaksi akan tuntas. Berikut pernyataan yang dikutip, "Given the terms that remain to be agreed, there is no certainty that a transaction will be completed. Any final agreements will be subject to approval by the necessary government regulators and authorities,"

Kalau mengutip pernyataan Rio Tinto secara lengkap, secara jelas kita bisa mengetahui, kesepakatan akhir hanya tinggal menunggu persetujuan dari beberapa kementerian terkait, di antaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, ESDM, dan BUMN. Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mengatakan, semua persetujuan yang menandai tuntasnya divestasi saham akan rampung satu bulan ke depan. Masih ragu deal ini tidak akan tuntas?

Ketiga, apa yang sudah disepakati? Penandatanganan kemarin, tergolong sebagai dokumen pokok-pokok perjanjian (head of agreement/HOA). Pokok -- pokok kesepakatannya yaitu soal harga divestasi, perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), kesepakatan Freeport bersedia membangun smelter, dan kesepakatan perpanjangan beroperasinya Freeport 2x10 tahun (maksimal hingga 2041) jika Freeport memenuhi kewajiban yang sudah disepakatinya.

Fakta penandatanganan HoA tentu saja menggugurkan "nyinyiran" bahwa yang ditandangani hanyalah MoU (Memorandum of Understanding). Apa bedanya dengan HoA? Dalam bisnis, level HoA lebih tinggi dengan MoU. Itu karena MoU hanya dokumen kesepahaman kedua belah pihak, di mana belum ada kesepakatan tentang sesuatu yang dicapai.

Sementara itu, HoA ialah dokumen di mana kedua belah pihak sudah sepakat menjalin kerja sama dalam hal tertentu, misalnya harga, struktur negosiasi, dan lain-lain. Persetujuan formal akan diteken ketika semua prosedur administratif (transaksi membayar) sudah dilaksanakan. Jadi, HoA merupakan pencapaian yang sudah layak untuk diketahui publik.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline