Hari ini, Sabtu (23/6/2018) di Bali, Presiden Joko Widodo kembali mengumumkan penurunan tarif pajak final (PPH Final / tarif tunggal) sebesar 50 persen bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi 0,5 persen dari yang sebelumnya 1 persen dari omzet per bulannya. Sebelumnya, Presiden lebih dahulu mengumumkan hal itu di Surabaya, kemarin, Jumat (22/6/2018).
Pemberlakuan tarif baru pajak UMKM tersebut tercantum dalam revisi Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto. Secara kontekstual, penurunan tarif pajak akan memacu perekonomian Indonesia yang memang didominasi oleh pelaku UMKM.
Data dari Kementerian Keuangan, dalam APBN 2018, penerimaan pajak mencapai Rp 1.424 triliun atau 75,2 persen dari total pendapatan negara sebesar Rp 1.894,7 triliun. Di belahan dunia mana pun, pajak menjadi ujung tombak atau bahan bakar pembangunan suatu negara.
Di Indonesia, melalui APBN pajak digunakan untuk membangun sarana infrastruktur jalan, transportasi, telekomunikasi, perumahan subsidi, rumah sakit, sekolah, tunjangan guru, bantuan sosial, dana desa, program keluarga harapan, dan berbagai program sosial lainnya.
Dalam hukum ekonomi, pajak merupakan salah satu instrumen keadilan, maka saat pemerintah Joko Widodo sangat terkenal akan semangatnya membangun infrastruktur atau pun pemberian bantuan sosial ke masyarakat itu berarti Jokowi berada dalam rel yang benar.
Penurunan tarif pajak dapat dilihat sebagai kemudahan berwirausaha bagi masyarakat. Kementerian Koperasi dan UKM pada 2017 mencatat, perekonomian Indonesia didominasi oleh UMKM dengan jumlah unit usaha sebanyak 62,9 juta unit dan 116,7 juta jiwa tenaga kerja.
Dari sisi PDB, UMKM menyumbang 60 persen dari jumlah PDB. Dengan demikian, masyarakat yang memiliki usaha di kategori UMKM (maksimal omzet 4,8 miliar per tahun) dapat lebih leluasa mengembangkan bisnisnya.
Penurunan besaran pajak 50 persen bukan jumlah yang sedikit. Dalam dunia bisnis, satu sen pun sangat berharga karena akan menentukan pergerakan uang usaha. Dengan berkurangnya kewajiban membayar pajak, pelaku UMKM dapat mengalihkan uang yang sebelumnya digunakan untuk membayar pajak menjadi usaha untuk mengembangkan bisnis, seperti memperlebar toko, menambah karyawan, dan hal lainnya.
Skala bisnis pun perlahan akan menjadi besar dan semakin membuka lapangan pekerjaan. Masyarakat yang belum menjadi pelaku UMKM pun akan semakin tertarik membuka usaha.
Sebagai seseorang yang menggeluti dunia bisnis dan ekonomi, saya melihat langkah ini merupakan awalan untuk menggerakan roda perekonomian rakyat kelas menengah-bawah. Setelah penurunan pajak, tentu akan diikuti oleh akses permodalan yang semakin mudah bagi pelaku UMKM. Semoga ini dapat terus dilakukan pemerintah secara konsisten, karena sesungguhnya pergerakan ekonomi harus dinikmati semua kalangan yang dalam hal ini pelaku UMKM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H