Mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dilepaskan dari Rutan KPK, Selasa malam (9/7) kemarin. Hal ini menyusul putusan hakim Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung. Walau disebut terbukti melakukan dakwaan, majelis hakim MA berkesimpulan kasus SAT ini bukan merupakan kasus pidana. Karenanya, ia dibebaskan dari tuntutan hukum.
Dengan bebasnya Syafruddin, banyak pihak menganggap putusan MA tersebut akan menggugurkan penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim (SJN) dan Itjih Nursalim (IN). Alasannya, dua pengusaha ini dijadikan tersangka oleh KPK sebagai pengembangan dari penyidikan perkara SAT.
Walau begitu, tampaknya KPK masih enggan menghadapi kekalahan mereka yang nyata dalam kasus ini. Terbukti, KPK mengumumkan akan tetap mengejar SJN dan istrinya walau MA sudah memutuskan bahwa dakwaan KPK pada SAT terkait SKL BLBI bukan berada pada ranah pidana.
Dengan status 100% conviction rate, tidak berlebihan jika kita ibaratkan, KPK seperti anak yang angkuh karena selama ini selalu menang di pertandingan dan biasa dielu-elukan. Karena terbiasa dianggap kontestan andalan, ketika kalah KPK sulit menerima kenyataan lantas menyimpulkan ada keanehan dalam proses penilaian. Ini terlihat saat Laode M. Syarif mengatakan "KPK merasa kaget karena putusan ini `aneh bin ajaib', karena bertentangan dengan putusan hakim PN (pengadilan negeri) dan PT (pengadilan tinggi)."[1]
Mahkamah Agung memang salah satu dari dua peluru terakhir para pencari keadilan di negeri ini. Yusril Ihza Mahendra, pengacara SAT mengatakan "MA telah memutus perkara tersebut dengan 'onslaag', perbuatannya ada, tetapi bukan tindak pidana. Apapun putusan pengadilan, apalagi putusan MA wajib kita hormati dan patuhi," tambah Yusril.[2] Sepanjang diputuskan dengan independen dan mengutamakan asas serta pertimbangan hukum keputusan MA harus dihormati dan dilaksanakan.
Dalam kasus SKL BLBI KPK memang seperti bersembunyi di balik tuduhan-tuduhan yang perlu dibuktikan di pengadilan. Contohnya, dugaan kerugian negara 4,58 T yang dilakukan SJN dan IN. Padahal, kerugian negara yang dimaksud KPK terjadi dalam konteks perjanjian MSAA yang merupakan perjanjian perdata. Sehingga, masalah pada kasus ini (kalaupun ada) penyelesaiannya tidak tepat pada area tindak pidana korupsi.
Hal inilah yang ditegakkan hakim-hakim MA dengan dikeluarkannya keputusan pembebasan SAT pada Selasa, 10 Juli 2019. Walau membuat banyak pihak terhenyak, ini adalah keputusan final. Yang menarik, ini adalah pembelaan yang disampaikan SAT dan tim hukumnya sejak awal. SAT sudah bersikukuh, masalah SKL BLBI bukanlah masalah pidana.
KPK selama ini jumawa dengan succes rate 100% saat kasus-kasus yang mereka proses masuk ke pengadilan. Kini, KPK terhenyak menghadapi kenyataan bahwa mereka kalah karena kealpaan mereka melihat dan mengkategorikan pelanggaran administrasi alih-alih pelanggaran pidana.
Begitu banyak hal yang ditabrak oleh KPK saat menyatakan SAT tersangka tindak pidana korupsi. Kini, dengan kengototan yang sama KPK meneruskan penyelidikan pada kasus SJN dan IN---sebuah langkah inkonsisten, sebab awalnya KPK beralasan penyidikan SJN dan IN adalah pengembangan kasus SAT.
Kini SAT bebas, KPK beralasan dalam salinan putusan MA tidak merinci ketiadaan kerugian negara 4,58 T. Karenanya KPK meneruskan penyidikan. Padahal, tentu MA tidak merinci tidak ada kerugian---sebab ini masuk ke dalam hukum perdata atau administrasi. Karenanya, semuanya perlu dibuktikan di pengadilan perdata---di luar ranah KPK.
Masalah kerugian negara 4,58 T pun masih asumsi. Audit BPK yang mengatakan adanya kerugian ini masih dalam proses sengketa di pengadilan setelah digugat oleh SJN. Pihak SJN berpendapat audit 2017 yang dilakukan BPK merupakan audit "pesanan" sebab menyalahi kaidah independensi BPK. Mengingat, audit ini hadir setelah diminta KPK plus menggunakan data-data yang disediakan KPK.