Pada bagian pertama buku ini, tema Spiritualitas Manusia dan Kesemestaan diulas secara mendalam melalui tulisan yang mencerminkan perjalanan intelektual penulis. Buku ini menampilkan pandangan tokoh-tokoh besar seperti Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Erich Fromm, dan Nawal El-Sadawi, membahas potensi manusia, kasih sayang, toleransi beragama, serta perjuangan perempuan melawan kekerasan simbolik. Setiap bab menghubungkan isu lokal dengan tantangan global terkait teori-teori sosiologi globalisasi.Konsep manusia unggul oleh Muhammad Iqbal menunjukkan bahwa kerja keras individu berdampak global, di era modernisasi dan globalisasi. Buku ini membahas kekerasan simbolik dalam ketidakadilan gender dan bagaimana nilai-nilai patriarkal diperkuat oleh sistem sosial global. Erich Fromm menekankan cinta sebagai pondasi kehidupan untuk menyatukan manusia di tengah perpecahan sosial. Isu konflik agama di Indonesia dan dampak bencana alam mencerminkan pengaruh globalisasi dalam kehidupan individu dan tantangan lokal yang berdampak global.
Bagian kedua dari buku ini membahas Islam dan upaya penyegaran ajarannya, dengan tinjauan kritis terhadap radikalisme dan puritanisme Islam di Indonesia, terutama setelah Reformasi. Penulis mencatat dinamika yang muncul, seperti peningkatan radikalisme di pesantren dan demonstrasi Aksi 212 yang menuduh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai penista agama. Pembahasan mengenai asal-usul kekerasan dalam Islam mencakup sejarah kekerasan dalam komunitas Muslim dan pentingnya sikap kritis dalam memahami nilai-nilai Islam. Dampak globalisasi terhadap agama terlihat melalui homogenisasi dan heterogenisasi.
Penulis juga membahas pandangan Bung Karno yang menolak negara khilafah dan gagasan Nurcholish Madjid mengenai integrasi keislaman dan kemodernan dengan Pancasila sebagai dasar etika. Buya Syafii Maarif menolak narasi pembulian terhadap Ahok, serta menekankan sikap moderasi yang mendukung persatuan Islam dan kebangsaan. Buku ini juga menampilkan aspek esoteris Islam yang menekankan kasih sayang dan peradaban yang lebih manusiawi, serta mempromosikan dialog antarbudaya dan pesan damai yang universal.
Bagian ketiga pada buku mengulas Keindonesiaan dan Kemajemukan. Ini membahas kerumitan identitas Indonesia yang dipengaruhi oleh semangat Pencerahan di Eropa pada abad ke-17. Semangat kesamaan, kebebasan, dan keadilan tercermin dalam Preambule UUD 1945, menciptakan visi Indonesia yang bersatu dan makmur. Namun, keragaman Indonesia menimbulkan tantangan dalam mempertahankan identitas. Pendekatan pluralisme oleh Diana Eck menjadi fokus dalam mengelola keragaman agama dan etnis. Dialog antar budaya sangat penting, terutama di era globalisasi yang mengaitkan pluralitas dengan dinamika global, seperti di Amerika Serikat.
Buku ini juga mencatat meningkatnya penggunaan busana tradisional seperti kebaya sebagai simbol keberagaman budaya. Inisiatif seperti "Selasa Berkebaya" menunjukkan adaptasi budaya lokal. Isu kontemporer gerakan childfree dan penolakan feminisme juga dibahas, menyoroti pengaruh nilai-nilai global yang bertentangan dengan tradisi lokal. Ada juga argumen yang mempertahankan feminisme sebagai alat analisis untuk ketidaksetaraan gender yang terjadi akibat modernisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H