Lihat ke Halaman Asli

NADA CITRA AMBAR WANGI

Mahasiswa S1 Antropologi UNAIR SURABAYA

Kajian Sejarah Wayang Kulit dan Ruwatan Murwakala Dalam Rangkaian Pagelaran Wayang Kulit

Diperbarui: 19 Mei 2023   10:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : potret Pagelaran Wayang Kulit MANDURO Ponorogo 

Negara di Dunia ini tentunya memiliki ciri khas masing-masing, serta banyak sekali keberagaman dalam hal budaya, adat, suku, ras, bahasa dlsb. Salah satu negara heterogen adalah Negara Indonesia yang memiliki kebhinekaan.

Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman, salah satu yang mendasar adalah adanya perbedaan kebudayaan dan adat, dimana setiap daerah memiliki ciri khas yang sangat berbeda sesuai karakter daerahnya. Salah satu kebudayaan asli Indonesia yang dikenal secara universal adalah seni Wayang kulit.

Wayang kulit ini sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Wayang kulit merupakan seni tradisional yang kini berkembang dan masih lestari khususnya diwilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan beberapa daerah Jawa Barat. Pertanyaan mengapa sajian seni tradisional ini disebut sebagai Wayang?

Karena Wayang ini berasal dari kata "Ma Hyang" yang memiliki arti Menuju Roh spiritual, sang dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Namun menurut opini mayoriyas  local genius masyarakat jawa, Wayang didefinisikan sebagai  " wewayangan / ayang-ayang (bayangan)" sebagai representasi unsur kehidupan, tingkah laku manusia, dan bayangan kisah dari manusia itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari, dimana nasib/takdir yang terjadi telah diatur Tuhan sebagai suatu keseimbangan.

Pertunjukan Wayang Kulit ini dimainkan oleh seorang pemain itu yaitu seorang Dalang. Yang lebih dikenal dalam akronim (Dalang = Ngudal Piwulang) dimana berperan menyampaikan runtutan cerita wayang dari awal hingga akhir yang memiliki segala kekuasaan yang merepresentasikan sebagai Tuhan, dan Wayang diibaratkan sebagai manusia, tumbuhan, binatang, bintang/benda mati lainnya (ciptaan Tuhan).

Secara umum, pagelaran wayang kulit sekarang banyak mengambil kisah cerita dari naskah Mahabarata, Ramayana dan Lakon Gubahan (Carangan) yang kemudian dikemas dengan tema/judul yang unik seperti Rabine Wisanggeni, Bimo Suci, Wahyu Kamulyan, Bimo Maneges,dll.

Dalam wayang kulit, properti yang dipakai serta para pelaku pendukung dalam kesenian tradisonal ini semua kaya akan berbagai filosofis.

Blencong atau lampu yang diletakkan diatas kelir atau diatas tepat kepala dalang ini diibaratkan sebagai sumber cahaya dari sinar kehidupan sebagai penggambaran matahari atau bulan yang selalu memberikan penerangan baik siang dan malam hari.

Kayon atau Gunungan di Pagelaran wayang kulit ada bermacam-macam jenisnya, namun secara generale kayon ini dilambangkan sebagai Bumi Seisinya, Pohon yang ada dalam kehidupan serta hewan penghuni hutan. Kayon biasanya berfungsi sebagai pertanda pembuka cerita, perpindahan adegan atau alur cerita serta penutupan cerita. Kelir (layar dalam pagelaran wayang kulit) yang atas berwarna putih bersih yang melambangkan langit.

Sedangkan kelir bawah yang berwarna coklat atau hitam diibaratkan sebagai tanah/bumi. Kotak Wayang ini diibaratkan sebagai tempat yang berkaitan dengan hawa/nyawa manusia.

Keprak/kepyek yang biasanya terletak disebelah kiri dalang ini melambangkan aliran darah (rah/roh) yang berkaitan dengan jantung manusia. Simpingan Wayang ini dilambangkan, jika kanan sebagai gambaran sifat manusia yang baik, jika sebelah kiri melambangkan sebagai representasi sifat manusia yang buruk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline