Maraknya kejadian gangster di Kota Semarang. Menurut data kepolisian, tahun 2024 ini tercatat 135 kasus kriminal di antaranya adalah gangster di Jawa Tengah. Jumlah tersebut terdiri dari 126 pelaku dewasa dan 201 pelaku masih di bawah umur. Aksi ini dilakukan oleh sebagian besar pelaku berstatus pelajar.
Polrestabes Semarang berhasil membubarkan 19 kelompok gangster, Selasa (1/10). Terus dilakukan berbagai upaya untuk mencegah adanya kelompok gangster baru. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga melaksanakan upaya dengan memberikan edukasi kepada siswa, menekankan bahwa segala aksi kejahatan tidak boleh dilakukan
Meskipun sudah dibubarkan, kejadian seperti ini tetap saja menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Tidak hanya resah terhadap gangster tersebut, juga ketakutan orang tua jika anaknya terlibat dalam aksi mengerikan ini.
Perlu keterlibatan lingkungan seperti orang tua, keluarga, pertemanan untuk mencegah anak remaja untuk bertindak hal semacam ini. Menurut Nurchayati S.Psi., M.A., Ph.D, dosen Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Negeri Surabaya (UNESA), kejadian seperti ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Anak-anak remaja cenderung masih berada di fase mencari jati diri secara psikologis. Anak-anak ini ingin dianggap sudah dewasa dan memiliki kemampuan lebih jago daripada teman-teman yang lain. Terkadang untuk mencapai keinginannya tersebut, mereka ada yang mencurahkannya dalam bentuk positif bahkan ada yang negatif seperti aksi kekerasan tawuran. Selain itu, anak-anak remaja merasa kurang perhatian dari orang tuanya, sehingga mencari perhatian di luar dengan cara menimbulkan problem sosial.
Kedua dari faktor lingkungan. Jika tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya, anak-anak ini bisa mencari perhatian di lingkungan pertemanannya. Di lingkup pertemanan, mereka secara bebas dapat mencurahkan isi hatinya dan menyampaikan keinginan dan kekhawatirannya dengan teman-teman yang dianggap dekat dengan dirinya.
Jika lingkungan pertemanannya negatif, tentu ini akan berbahaya. Remaja akan dapat terperosok ke dalam arus pertemanan negatif tersebut. Biasanya apabila mereka tidak ikut ke dalam rencana untuk melakukan sesuatu akan dianggap tidak gentleman. Lingkungannya akan menyebutnya cupu, tidak berani seperti yang lainnya. Nurchayati mengungkapkan bahwa anak yang lugu saja, jika berada di kelompok pertemanan yang agresif, maka dia akan ikutan agresif juga.
Selanjutnya faktor game yang tidak bisa lepas dari keseharian anak-anak. Game yang biasanya anak remaja mainkan berupa game kekerasan seperti aksi tembak dan sebagainya. Permainan anak yang seperti ini akan memicu adanya motivasi untuk melakukan tawuran dan kekerasan. Berdasarkan laporan We Are Social, pada awal 2022, Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemain video game terbanyak di dunia.
Nurchayati menuturkan bahwa game perang seperti ini akan berdampak kepada aspek emosi dan mental remaja. Namun, di sisi lain game dapat menjadi sarana untuk mereka melampiaskan keresahan dan berujung pada perilaku sehari-hari seperti temperamen dan agresif.
Selain itu, aksi gangster dapat disebabkan oleh kurangnya muatan pelajaran keagamaan yang didapat baik di rumah maupun di sekolah. Menurut Nurchayati, pendidikan agama sebagai sarana pendidikan penanaman nilai dan karakter bagi anak remaja. Tidak hanya sebagai pendidikan tambahan, namun pendidikan agama dapat menjadi pengendali anak remaja dalam menyalurkan energinya. Anak remaja dibutuhkan aksi pembiasaan karakter yang lebih baik.
Untuk mencegah adanya generasi gangster tersebut perlu dilakukan komunikasi antara orang tua dan anak. Orang tua harus menjalin kedekatan kepada anaknya. Pemberian pola asuh yang memperhatikan segala gerak gerik anak, dapat membangun kehidupan keluarga yang harmonis. Serta pengawasan dari orang tua untuk memastikan anak-anak dapat melewati fase remaja dengan baik.