Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya bertujuan pada penghukuman pelaku, melainkan lebih utama adalah pengembalian kerugian negara yang telah ditimbulkan oleh pelaku. Namun masalah yang sering muncul adalah ketika di tingkat penyidikan, penyidik selalu membujuk dan bahkan mendesak hingga memaksa (sering kali dengan ancaman penahanan) agar kerugian negara dikembalikan oleh tersangka.
Bertahun-tahun sejak reformasi, terlebih sejak berlakunya UU No. 31 tahun 1999, praktek pengembalian kerugian negara pada tahap penyidikan terus saja diberlakukan. Padahal hal ini mengundang masalah serius baik dari asas penegakan hukum maupun dari segi teknis pelaksanaan penerapan hukum. Berikut masalah serius yang muncul dari praktek tersebut:
Melanggar Azas Hukum Acara
Kata 'tersangka' secara gramatikal bisa dipahamai bahwa sangkaan tersebut bisa benar, dan bisa juga salah. Pemilihan kata 'tersangka' oleh penyusun KUHAP sudahlah tepat. Karena seseorang yang diperiksa atau disidik oleh penyidik bukanlah berarti bahwa seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang disangkakan kepadanya. Hal ini sejalan dengan azas praduga tak bersalah (presumption of innocent), dimana seseorang diperlakukan sebagai tidak bersalah dalam proses pemeriksaan (penyidikan hingga penuntutan) hingga ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa orang tersebut adalah bersalah.
Dalam kasus korupsi, jika seorang tersangka diarahkan atau bahkan ditekan oleh penyidik untuk mengembalikan sejumlah kerugian negara hal ini sama saja telah menuduh si terperiksa telah melakukan perbuatan yang disangkakan kepadanya tanpa melalui proses pemeriksaan di pengadilan.
Dalih penyidik (juga jaksa penuntut) saat mengarahkan terperiksa untuk mengembalikan kerugian negara yang dituduhkan biasanya adalah agar menunjukkan sikap kooperatif sehingga tidak dilakukan upaya paksa. Padahal, hal ini sebenarnya merupakan jalan pintas bagi penyidik untuk memojokkan atau bahkan menekan terperiksa untuk mengakui perbuatannya secara tidak langsung.
Jadi selain telah melanggar asas hukum acara, juga dari segi teknis penegakan hukum pengembalian kerugian negara pada tahap penyidikan membuat penyidik malas menggali dan menemukan fakta-fakta materil perbuatan yang dituduhkan kepada tersangka. Sehingga ketika memasuki proses pemeriksaan di pengadilan uraian perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa (yang tadinya adalah tersangka ketika tahap penyidikan), tidak tergambar secara gamblang dan tidak mudah dipahami alur cerita dalam uraiannya.
Ajang Pemerasan
Dari segi tekni pelaksanaan penegakan hukum, pengembalian kerugian negara pada tahap penyidikan juga rawan disalahgunakan oleh petugas penyidik. Hal ini terjadi oleh karena pengembalian kerugian negara tersebut sering kali dilakukan dalam bentuk serah terima uang secara fisik dari terperiksa kepada penyidik.
Walaupun disertai dengan berita acara sita yang kelak akan dilampirkan dalam berkas perkara (jika naik hingga penuntutan di pengadilan), hal ini tidak menjadi jaminan bahwa uang yang diserahkan tersebut tidak disalahgunakan. Problem yang muncul adalah, apabila jumlah uang yang telah diserahkan ternyata melebihi dari jumlah yang kelak terbukti di persidangan. Biasanya tersangka sudah tidak mau mengambil lagi kelebihan uang tersebut karena tidak mau repot berurusan atau bahkan trauma dengan aparat penegak hukum.
Bisa saja terjadi bahwa pengembalian kerugian negara dalam tahap penyidikan tersebut adalah dalih untuk memeras terperiksa. Seandainya sejumlah uang telah diserahkan, kemudian perkara tidak dilanjutkan karena tidak memenuhi unsur, atau bahkan sengaja tidak ditindaklanjut oleh penyidik atau penuntut agar uang yang telah diserahkan tersebut tidak perlu disetorkan ke kas negara. Peluang terjadinya penyalahgunaan dengan modus seperti ini sangat besar dan kerap kali terjadi.