'Menepuk air di dulang memercik ke muka sendiri', ini bunyi pepatah lama. Pepatah yang berarti kita mesti hati-hati bertindak agar tindakan yang kita lakukan tidak berbalik menajdi aib bagi diri sendiri. Entah Kapolri dan jajarannya pernah membaca dan mendengar serta meresapi pepatah ini atau tidak. Namun kenyataannya berhari-hari belakangan ini Polri sedang berkutat pada persoalan yang terpaut dengan amanat pepatah lama tersebut.
Berpangkal dari reaksi para perwira menengah Polri (saya tak sebut mereka adalah oknum) atas penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi kasus simulatir uji mengemudi kendaraan bermotor. Penyidikan itu melibatkan pejabat tinggi Polri, jenderal berbintang dua, Irjen. Pol. Djoko Susilo. Sehari setelah pemeriksaan tesangka Irjen Djoko Susilo oleh KPK sekelompok polisi menyatroni gedung KPK dengan dalih mau menangkap anggotanya yang bertugas di KPK karena dituduh melakukan tindak pidana penganiayaan berat. Orang yang dituduh adalah Komisaris Polisi Novel Baswedan. Dia adalah salah seorang penyidik KPK (yang diperbantukan oleh Polri) yang memeriksa si Jenderal.
Tuduhan terhadap Novel terkait perbuatan saat ia menjadi Kasatreskrim di Bengkulu dimana enam orang tersangka pencuri sarang burung walet ditembak kakinya dan salah satu dari keenam tersangka itu kemudian tewas. Tak usah saya cerita lagi di sini tentang berbagai kejanggalan penanganan tuduhan atas diri Kompl Novel; kenapa rentang waktu antara kejadian dengan tindakan kepolisian atas peristiwa itu demikian lama dan kenapa pula bersamaan dengan upaya Novel menyidik si Jendral?
Hal yang menarik adalah seandainya tuduhan terhadap Novel dilanjutkan ke tingkat projustisia, kemudian diadakan rekonstruksi peristiwa dan diliput oleh media massa. Tentu akan terbukalah detil-detil peristiwa yang dituduhkan kepada Kompol Novel. Dari detil itu kemudian akan terlihat dan akan menjadi gambaran bagaimana sesungguhnya anggota Polri menangani para tersangka kriminal yang telah ditangkap selama ini.
Sering kali masyarakat umum disajikan berita tentang anggota reserse kepolisian yang berhasil dengan gemilang melumpuhkan buronan pelaku kriminal dengan tembakan jitu di kaki? Di televisi sering terlihat tayangan yang bahkan di-closeup, jejak peluru yang menembus kaki para tersangka. Cerita yang sama tentang penembakan kaki para tersangka itu bertumpu pada dua sebab: melawan dan/atau melarikan diri. Bukankah ini kontras dengan cara-cara anggota Densus melumpuhkan terduga teroris yang melakukan cara berondongan peluru? Ya, berondongan peluru. Sementara disebutkan bahwa anggota Densus 88 adalah pasukan terlatih dengan kemampuan khusus di atas rata-rata anggota Polri.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, kenapa bukan anggota reserse yang jago tembak hingga orang yang sedang berlari saja bisa disasar kakinya dengan tepat, yang dijadikan pemburu teroris? Mereka cukup disiagakan di sekitar jalan yang akan dilalui oleh target yang sudah diidentifikasi, lalu... dor.... dor. Cukup dua peluru dan tak perlu bantuan robot yang canggih dan mahal.
Akan tetapi rupanya tak seperti yang terduga oleh saya keadaan yang sebenarnya. Setelah peristiwa yang dituduhkan kepada Kompol Novel diberitakan diberbagai media, mulai tergambar di pikiran saya. Jangan-jangan para tersangka yang dilumpuhkan dengan tembakan di kaki tersebut sebenarnya ditembak setelah ditangkap sebagaimana kejadian pada peritiwa yang melibatkan Kompol Novel.
Jika para tersangka yang pernah mengalami peristiwa serupa menyadari hal ini dan mereka beserta keluarganya melaporkan kejadian tersebut pada polisi, bisa jadi makin banyak anggota Polri yang bernasib sama dengan Kompol Novel. Dijadikan tersangka. Jika dilanjutkan dengan pengusutan pula maka, profesionalisme Polri yang digembar-gemborkan selama ini menjadi taruhan.
Mari kita lihat sampai dimana kasus Novel akan terus mengalir. Selama ini masyarakat telah bergerak melindungi dan mendukung KPK dalam kasus Novel terkait pengusutan kasus korupsi yang melibatkan petingi Polri. Dalam kasus ini citra Polri telah terpuruk semakin dalam. Semoga saja tidak sampai menumbuhkan kebencian masyarakat kepada Polri, karena walau bagaimana pun sebuah negara dan masyarakat membutuhkan polisi.
Sebenarnya dengan memeriksa Novel, Polri telah membuka aibnya sendiri. Apakah kemudian kasus Novel akan menjadi pemicu masyarakat untuk 'me-reveiw' tindakan polri terhadap para tersangka pelaku pidana, berupa perlakuan yang melampaui batas? Ataukah sekedar ramai sebentar dan kemudian berjalan seperti biasa dan sesungguhnya tidak ada yang perlu diperbaiki dalam tubuh dan mental kepolisian kita. 'Kita pasrah, tapi tak rela', begitu kelak bahasa gaulnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H