Amerika bolehlah dianggap sebagai negara pelopor demokrasi. Maklumlah, negara Amerika memang terbentuk dari motif warga negara di daratan eropa yang terkekang oleh feodalisme raja-raja. Para petualang pendamba kebebasan ini kemudian menemukan benua baru yakni Benua Amerika dimana mereka kemudian, setelah melalui sejarah panjang dan konflik yang keras membangun sebuah negara yang dikenal sebagai United States of America. Amerika Serikat, kata orang kita.
Ketika negara-negara Eropa terbelenggu feodalisme bangsawan, sebagian rakyatnya yang hijrah ke Benua Amerika telah memilih sendiri presidennya. Saat itu di Eropa masih dianggap aneh kalau ada sekelompok rakyat yang menentukan siapa yang jadi pemimpin, disamping itu pemimpinnya disebut "presiden" dan bukan "raja" pula.
Namun sejarah terus bergulir. Akhirnya para raja di daratan Eropa belajar memahami dan menyesuaikan diri dengan slogan demokrasi yang dicetuskan oleh presiden ke 16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln: "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat".
Indonesia, negara kita yang berdiri di abad ketika demokrasi sedang bertumbuh pun tak ketinggalan mengadopsi demokrasi dalam tata kenegaraan. Walaupun dengan model yang berubah-ubah dan disesuaikan dengan selera pemimpin yang berkuasa, setidaknya Indonesia tak mau kalah gengsi dan ingin disebut pula sebagai negara demokrasi. Maka tak heran, ketika kita baru merdeka, wajah demokrasi itu segera ditampakkan, walau terasa tergesa-gesa, yakni dengan keluarnya maklumat pemerintah untuk mendirikan partai-partai politik. Sepuluh tahun kemudian setelah merdeka, Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum (belum sempat memilih presiden, melainkan hanya memilih anggota dewan konstitiuante) sebagai bukti bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Pada masa ini kepemimpinan Soekarno mencetuskan model Demokrasi Terpimpin.
Jaman presiden Soekarno berlalu, disusul kepemimpinan Soeharto yang juga mengklaim menjungjung tinggi demokrasi. Pemilu diselenggarakan, partai lebih dari satu (cuma tiga). Namun semua riak politik hanya boleh di bawah satu komando. Tak boleh ada interupsi di sidang-sidang parlemen. Tidak boleh berdebat, hanya boleh mufakat.
Giliran era reformasi berlangsung, demokrasi lagi-lagi menjadi tata rias wajah negara yang paling didamba. Kali ini lebih seru. Tidak hanya kelompok kepentingan, tidak hanya agregat kepentingan yang mengalirkan demokrasi. Bahkan individu pun berdemokrasi.
Di era reformasi, demokrasi menjadi hak siapa saja. Tidak hanya hak rakyat. Bahkan penguasa pun menuntut hak berdemokrasi. Tidak dilarang mengkritik, tidak dilarang berbeda. Namun saat rakyat menyuarakan ingin ke Timur, pemerintah juga bebas menyuarakan untuk ke Barat. Begitulah kira-kira nuansa demokrasi yang berlangsung sekarang ini. Demikian pula antara pemimpin dan wakilnya saling menuntut hak demokrasi, sehingga sering kali antara kepala daerah dan wakilnya, bahkan antara presiden dan wakilnya pecah kongsi sebelum selesai masa tugas lima tahunan mereka, semata-mata demi alasan hak berdemokrasi.
Hebatnya demokrasi di Indonesia. Tidak hanya masyarakat kewargaan (masyarakat sipil) yang menyusun organisasi sebagai sarana berdemokrasi. Bahkan pemerintah pun menyusun organisasinya sendiri untuk berdemokrasi, diluar organisasi pemerintahan yang mereka kendalikan. Maka terbentuklah misalnya, Asosiasi Pemerintah Propinsi Se-Indonesia (APPSI), ada pula Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Kota (APEKSI) sampai ada Paguyuban Perangkat Desa Segala. Luar biasa bukan?
Di Indonesia, demokrasi bukanlah sarana mengontrol kekuasaan negara dan pemerintahan. Melainkan sebagai sarana adu kuat dan adu eksistensi. Tidak hanya rakyat yang menuntut hak berdemokrasi, bahkan penguasa pun menuntut dan mengekspresikan hak berdemokrasi. Sehingga tidak aneh kalau Indonesia bisa melampaui Amerika Serikat dalam persoalan demokrasi, dan layaklah kalau Indonesia menyandang gelar sebagai Negara Super Demokrasi. Amerika boleh jadi Super Power, tapi Indonesia adalah Super Demokrasi. Amerika boleh jadi Kampiun Demokrasi (seperti diakui oleh Bung Karno) tapi Indonesia adalah Super Demokrasi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H