Lihat ke Halaman Asli

Fidel Dapati Giawa

TERVERIFIKASI

Advokat

Agar Tulisan Tak Jadi Bumerang Bagi Jurnalis Warga

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Salah seorang Kompasianer peserta Kompasiana Blogshop di Bandung menanyakan kepada narasumber, Nurullah, bagaimana kiat agar postingan tak kena serangan balik dari pihak yang ditulis. Bertolak dari tulisan itu, saya coba berbagi pendapat kepada rekan-rekan Kompasinaer.

Resiko serangan balik paling umum terjadi terhadap sebuah tulisan yang dipublish adalah tuduhan pencemaran nama baik. Resiko ini paling sering terjadi apa bila yang dipublikasi dalam tulisan menyangkut reputasi sebuah institusi. Baik itu institusi publik maupun privat.Tidak tertutup pula kemungkinan bahwa,tulisan yang memuat diri pribadi seseorang bisa menjadi bumerang bagi penulis, khususnya apabila tokoh yang diceritakan dalam tulisan adalah figur publik.

Bagi seorang Jurnalis Warga, resiko tuduhan balik dari pihak yang merasa dirugikan jauh lebih terbuka dibanding resiko terhadap jurnalis profesional yang bernaung di bawah payung lembaga penerbitan (baik cetak maupun on line).

Seorang jurnalis dinaungi oleh payung hukum UU Pers. Dibawah payung hukum itu, jurnalis punya hak bertanya, mengklarifikasi bahkan mendesak untuk tahu sesuatu hal yang ia anggap layak diketahui publik dan dipublikasi. Jurnalis adalah koridor kepentingan publik. Tidak jarang bahkan, narasumber atau institusi yang ingin dikonfirmasi justru menjadi tertekan oleh jurnalis profesional. Sedangkan jurnalis warga tidak dinaungi oleh UU pers dan tidak bisa mengklaim diri sebagai koridor kepentingan publik.

Payung hukum yang paling mungkin digunakan oleh para jurnalis warga adalah UU Keterbukaan Informasi Publik. UU Keterbkaan Informasi Publik melindungi hak warga untuk mendapatkan informasi akan tetapi tidak melindungi hak warga untuk mempublikasi informasi atau hal-hal yang diketahuinya mengenai suatu sebuah informasi atau pejabat publik. Disamping itu UU ini melindungi kepentingan warga masyarakat untuk mendapatkan informasi untuk dan atas nama dirinya sendiri, bukan untuk dan atas nama kepentingan publik. Sehingga UU Keterbukaan Informasi Publik tidak banyak membantu jurnalis warga untuk berlindung ketika ia ingin mempublikasi pengalaman pribadi dan hal-hal yang diketahuinya mengenai sebuah institusi atau pejabat publik.

Lalu apa yang bisa kita lakukan di tengah ancaman tuntutan balik itu? Berikut saya coba share pendapat dan saran:

Pertama; tulislah faktanya, jangan tulis kesimpulannya karena saat menyimpulkan kita sering kali terbawa untuk men-judge. Sedekat mungkin pada fakta. Misalnya, saat mendiskripsikan pelayanan yang lambat, jangan ditulis dengan kalimat “pelayanan tidak becus”. Kalau bisa berapa menit atau berapa jam atau berapa hari pelayanan yang disebut lambat tersebut.

Kedua; jika hal yang ditulis adalah pengalaman orang lain jangan lupa beritahu bahwa cerita yang ia utarakan kepada Anda akan dituliskan dan dipublish di media sosial. Ini untuk menghindari tuduhan bahwa apa yang dituliskan dan dipublish adalah fitnah dan narasumber tulisan terintimidasi (tidak siap mental) ketika dikonfontir dengan pihak yang merasa dirugikan oleh pengalaman tersebut.

Ketiga; Usahakan ditemani orang lain saat bermaksud mengklarifikasi suatu hal yang ingin dituliskan. Hal ini dibutuhkan suatu waktu ketika pihak yang merasa dirugikan membantah dan bisa dicounter dengan saksi dari pihak si penulis.

Sekian dulu sekilas pendapat, semoga rekan-rekan lain bisa membantu menambahkan.

Salam Kompasiana




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline