Wabah pajak warteg dari DKI mulai menyebar. Hari ini di koran Harian Tribun Jabar halaman 3 ada berita bertajuk 'pengusaha di Cimahi Akan Kena Pajak 10 persen'. Pajak sepuluh persen ini akan dikenakan pada pengusaha yang berpenghasilan lebih dari Rp 108 juta per tahun atau Rp 300 ribu per hari. Belum jelas jenis usaha apa sajakah yang dikenakan pajak 10% itu. Apakah semua jenis usaha yang memenuhi kriteria melebihi batas minimal penghasilan atau usaha tertentu saja.
Anggota DPRD Kota Cimahi yang memberi penjelasan dalam artikel tersebut mengatakan, pemungutan pajak tersebut dilandasi semangat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Cimahi yang diperkirakan mengalami defisit Rp 104 milyar. Alasan klasik. Semua daerah, bahkan pemerintah pusat selalu membebankan pajak kepada rakyatnya untuk alasan yang sama: pendapatan. Kalau di pemerintahan derah, ya... pendapatan daerah. Kalau pemerintah pusat, ya... pendapatan negara.
Jika tidak hatik-hati dalam pembatasan, Perda Kota Cimahi ini kemungkinan akan dibatalkan. Jika perda itu hanya merujuk pada penghasilan maka ia akan berbenturan dengan pajak penghasilan (PPh) yang menurut UU adalah wewenang pemerintah pusat. Semoga saja para legislatornya menyadari hal ini di atas nafsu mereka memajaki para pengusaha kecil.
Peningkatan pendapatan. Artinya yang lebih jauh adalah untuk digunakan untuk belanja. Sedangkan pembelanjaan selama ini berapa banyak sih yang digunakan untuk peningkatan fasilitas publik? Bukankah rata-rata lebih dari separuh belanja di derah diperuntukkan untuk belanja rutin dan aparatur? Mmmm.... makin keliatan aja nih motif pengelola negara.
Pajak pada hakekatnya bukan hanya sebagai sarana pengisi pundi belanja. Melainkan juga sebagai instrumen fiskal. Tetapi tidak pernah ada argumentasi pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyatakan bahwa pengenaan pajak atas objek pajak tertentu adalah untuk mengendalikan konsumsi atas barang tertentu. Pun tak pernah ada alasan bahwa pengenaan pajak atas objek tertentu adalah untuk mengendalikan kesenjangan dan ketidakadilan pendapatan. Alasannya selalu adalah; peningkatan pendapatan.... pendapatan.... pendapatan.
Saya bukan ahli ekonomi yang bisa mengurai panjang lebar efek ekonomi sebuah kebijakan ekonomi pemerintah. Saya adalah orang yang mengerti hukum dan mendalami perpajakan. Akan tetapi saya tidak bermaksud mengelaborasi hukum pajak dalam tulisan ini. Saya ingin mengulas kelakuan pemerintah yang hanya bisa 'mengambil' dari rakyatnya tanpa bisa memberi.
Mari kita lihat. Pertumbuhan kantong-kantong ekonomi hampir disemua pojok negeri ini adalah pertumbuhan yang sporadis. Pertumbuhan dan perekembangan dari jeri payah dan pergulatan rakyat para pelaku usaha - kecil maupun menengah. Pemerintah tak pernah mempersiapkan infrastruktur seperti jalan raya, mendahului geliat usaha rakyat. Kalaupun ada yang demikian, paling di daerah-daerah tertentu dan karena tujuan tertentu yang sangat-sangat khusus seperti pertumbuhan yang terencana di Batam, yang dulunya disebut sebagai Badan Otorita Batam.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa pemerintah mempersiapkan kawasan industri, kawasan berikat, dan sejenisnya sebagai bagian dari perencanaan dan pengendalian pertumbuhan Industri. Saya katakan, itu adalah omong kosong. Kenapa omong kosong? Karena program itu justru dicanangkan di daerah-daerah atau dalam wilayah propinsi yang memang industrinya sudah bertumbuh. Pemerintah tidak merencanakan dan mengarahkan kawasan tersebut, melainkan hanya mengendalikan pertumbuhan industri yang sporadis.
Bukankah proyek infrastruktur seperti jalan tol yang pada modal itu adalah bagian dari peran pemerintah? Jalan tol dibangun untuk memenuhi kebutuhan karena jalan yang ada sudah penuh sesak. Artinya, jalan tol dibangun untuk memenuhi tuntutan perekembangan dan pertumbuhan ekonomi yang sudah kian ada (eksisting).
Bukankah panjang jalan kereta api yang ada saat ini jauh berkurang dibanding panjang jalan kereta di jaman penjajahan ? Ini adalah bukti nyata betapa pemerintahan ini tak berfungsi. Pemerintah ini tak pernah mengurus rakyatnya.
Ada lagi yang lebih tragis. Pertumbuhan pedagang kaki lima yang sering kali mendahului pertumbuhan ekonomi titik-titik tertentu di perkotaan. Mula-mula dibiarkan, bahkan diam-diam dipungut retribusi. Akan tetapi ketika lokasi telah menjadi ramai dan mengundang ngiler pemodal berduit, pemerintah bersekongkol dengan pemodal untuk mengusir para pedagang kecil. Alasannya biasanya adalah untuk penertiban dan keindahan kota. Puah.... dalih bagi sebuah pikiran kotor yang ingin menindas.