Lihat ke Halaman Asli

Fidel Dapati Giawa

TERVERIFIKASI

Advokat

1/2 Moral: "Terima Uangnya Jangan Pilih Orangnya"

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Spanduk ukuran 50 cm X 75 cm terpajang di berbagai ruas jalan Kota Bandung. Bunyi pesannya, seperti pada judul tulisan ini: "Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya". Si penyampai pesan seakan tak mau kalah pula dengan spanduk para caleg, dipajangnya foto wajahnya di spanduk yang didominasi warna hitam itu. Dia juga pengen terkenal rupanya.

Aku pikir, luar biasa bodohnya orang yang membuat pesan pada spanduk itu. Udah bodoh, bangga pula. Dia uangkapkan kebanggaannya dengan menaruh foto wajahnya di spanduk berbunyi pesan konyol itu. Jumlah terbaran spanduk inipun tak sedikit, saya perkirakan ada ratusan dan bahkan mungkin ribuan spanduk terpajang.

Kenapa saya katakan bahwa bunyi pesan itu bodoh? Karena dia mempropagandakan tindakan penipuan di kalangan rakyat. Dia berpikir bahwa politik adalah ajang tipu menipu. Sementara penipuan adalah tindakan kriminal. Jadi, si pembuat pesan tanpa ia sendiri sadari telah mengajurkan kriminalitas massal, walaupun secara teknis hukum tidak sulit atau bahkan mustahil untuk diangkat ke tingkat penyidikan. Walau secara hukum ia tak dapat dikejar sebagai penganjur kejahatan akan tetapi secara moral ia adalah penganjur kesesatan.

Mungkin saja ia berpikir bahwa selama ini anggota legislatif (daerah maupun pusat) telah menipu rakyat, maka kali ini giliran rakyat menipu para caleg.  Sehingga ia berpikir bahwa ia telah menjadi penganjur moral dengan membalas perbuatan tak bertanggungjawab para anggota dewan selama ini dengan cara mengajarkan tindakan tak bertanggungjawab di kalangan  rakyat. Sungguh terlalu.

Jadi, si pembuat pesan ini dengan kebodohannya melestarikan relasi tipu menipu dalam politik. Padahal relasi politik yang seharusnya adalah sebaliknya dari itu, yakni relasi saling percaya antara yang dipilih dengan yang memilih. Maka terhadap pesan yang ia sampaikan dalam spanduk itu saya katakan, alangkah bejatnya orang-orang yang melakukan tipu menipu dalam politik karena korbannya tidak sedikit melainkan korban massal. Tetapi alangkah lebih bejatnya orang yang mengajurkan tipu menipu, terlebih kalau ia menganggap bahwa dengan menganjurkan itu dia telah merasa bertindak sebagai  pahlawan pemilu bersih.

Dengan menganjurkan menerima uang dari para caleg, maka ia telah menganjurkan si pemilik suara untuk memerosotkan nilai kedaulatannya. Kemuliaannya sebagai pemilik hak suara direduksi menjadi sekedar penipu suara. Tak ada lagi kebanggan atas hak kedaulatan yang sudah dicemari perbuatan nista yakni penipuan. Di sinilah cacat moral dari anjuran 'Terima Uangnya, Jangan Pilih Orangnya'.

Sungguh betapa bodoh dan menyesatkannya pesan itu. Tapi mungkin karena motifnya adalah melawan gerakan politik uang, maka sekalipun bodoh dan menyesatkan, saya berkesimpulan bahwa pembaut pesan masih memiliki setengah moral untuk pemilu yang baik. Namun setengah moral adalah posisi yang sama berbahaya juga dari segi moralitas karena setengahnya masih tanda tanya. Moral yang benar adalah moral yang utuh, bukan setengah. Kalau setengah moral maka setengahnya lagi bisa di isi oleh kebalikannya yakni amoral.

Akhirul kalam, menutup tulisan malam ini saya ucapkan selamat memilih bagi yang mau memilih caleg dan selamat tidak memilih bagi mereka yang tak memilih caleg.

Salam pemilu jujur.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline