Lihat ke Halaman Asli

Fidel Dapati Giawa

TERVERIFIKASI

Advokat

Pak Jokowi, Sekaranglah Saatnya Revolusi Mental

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gong revolusi mental telah ditabuh ketika Jokowi mulai santer digadang sebagai calon presiden pada 2014. Mulanya sayup terdengar, kemudian semakin nyaring saat kampanye, tapi lalu sayup lagi ketika Jokowi resmi menjabat sebagai Presiden RI.  "Revolusi mental baru saja dimulai", begitu kalimat penutup tulisan Jokowi (sekarang Presiden) di harian Kompas tanggal 9 Mei 2014 (juga di Kompas.com 10 Mei 2014).

Kenapa Sekarang?

Saat ini ruang sosial politik kita sedang digayuti suasana emosional sebagai imbas kontroversi  KPK vs Polri. Sempat jeda sejenak saat Presiden Jokowi mengumumkan 'pembatalan' pelantikan Komjen Budi Gunawan dan mengajukan penggantinya yakni Komjen Badrodin Haiti. Pengumuman ini diikuti pula dengan pemberhentian dua pimpinan KPK yakni Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto sekaligus mengangkat tiga pejabat pimpinan KPK yang baru yakni Taufikurrahman Ruki, Indiarto Senoaji dan Johan Budi.

Suasana emosional ini adalah momentum tepat menabuh ulang genderang revolusi mental. Terlebih mengingat bahwa suasana emosional ini telah memperlihatkan dua hal kepada kita, yakni: bahwa semangat pemberantasan korupsi masih disambut antusias oleh rakyat indonesisa, serta, kenyataan bahwa solusi pembentukan kelembagaan (seperti KPK) ternyata tak berjalan mulus memberantas korupsi di Indonesia.

Tulisan Jokowi bertajuk Revolusi Mental yang dimuat di harian Kompas sebagaimana saya sebutkan di atas,  telah menyimpulkan: "agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental". Nah, di tengah gemuruh emosi politik  inilah, Presiden menngambil kebijakan politik untuk menyerukan revolusi mental. Kenapa revolusi mental? Berikut Jawabannya:

1. Pemidanaan Koruptor Tak Hasilkan Indonesia Bersih

Tidak banyak diketahui umum bahwa pemidanaan koruptor yang selama ini berlangsung hanyalah menghasilkan efek pemindahan ajang korupsi baru. Yaitu pemindahan ajang korupsi dari kekuasaan politik dan birokrasi ke ranah aparat penegak hukum.

Marilah kita cermati, kenapa berkali-kali inspeksi mendadak yang dilakukan pejabat di berbagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang dihuni para terpidana korupsi selalu ditemukan fakta bahwa para terpidana korupsi selalu mendapat fasilitas istimewa. Untuk mendapatkan fasilita istimewa itu, tentu ada harga yang harus dibayar. Artinya, korupsi lagi deh.

Tidak hanya fasilitas dalam Lapas yang menjadi ajang korupsi baru. Tahapan lain termasuk pemanggilan saksi maupun tersangka adalah bagian yang bisa ditawar-tawar, terlebih penahanan (setidaknya dalam hal mengulur-ulur waktu dimulainya penahanan). Ini artinya, korupsi lagi deh.

Lalu, apakah dengan demikian tak perlu ada penegakan hukum dan pemidanaan kepada para koruptor? Enak banget dong kalau begitu. Nah, yang mau saya katakan adalah tidak ada gunanya pemidanaan kalau tidak diatas landasan revolusi mental. Revolusi mental dalam arti mentalitas aparatur harus diperbaiki.

2. Persaingan Kewenangan Antar Insitusi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline