Lihat ke Halaman Asli

Ulasan Buku: Gara-gara Denah Rumah Aneh

Diperbarui: 9 Maret 2024   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampul depan buku Teka-teki Rumah Aneh. (DOK PRIBADI).

Ulasan ini saya tulis setelah selesai membaca bukunya tepat sekitar sebulan lalu. Hanya butuh perjalanan kereta Jakarta-Bandung PP untuk menghabiskan buku Teka-teki Rumah Aneh karya Uketsu (2023) ini. Sebuah prestasi buat orang yang tidak hobi baca buku.

Tapi memang, bagi saya buku ini sebegitu serunya. Ada banyak "plot twist" sepanjang cerita, yang membuat rasanya susah berhenti baca.

Jadi, buku ini sempat viral di medsos X -sebelumnya Twitter dan banyak dibicarakan di beberapa akun base. Entah teknik marketing atau bukan, yang jelas hal itu langsung bikin saya ingin beli bukunya. Singkatnya, esok harinya saya langsung membeli buku ini dan dibaca saat itu juga di perjalanan menuju Bandung.

Sekilas sinopsis

Singkatnya, buku ini bercerita tentang Aku, yang merupakan seorang penulis lepas occult alias hal-hal gaib, ngobrol dengan seorang kenalannya yang ingin membeli rumah bekas. Aku lalu ditunjukkan peta rumah itu. Meski sekilas seperti rumah pada umumnya, setelah dicermati ternyata rumah itu punya sudut-sudut yang ganjil dan mengundang tanya.

Denah salah satu rumah aneh dalam buku. (DOK. PRIBADI)

Aku pun berkonsultasi dengan kenalannya yang lain, yang seorang arsitek. Dugaan-dugaan mereka berkembang menjadi sebuah asumsi liar yang kedengarannya agak mengerikan. Tapi ternyata, dugaan itu tidak keliru. Memang ada banyak keganjilan di rumah itu dan menuntun mereka ke sebuah keganjilan yang lebih besar lagi.

Setelah selesai membaca tamat, ada beberapa alasan yang menurut saya jadi kekuatan dari buku ini:

(SPOILER ALERT)

1. Bahasa ringan

Ini tentu penting terutama bagi orang-orang yang tidak terbiasa baca buku, seperti saya.

Selain bahasa yang ringan, ukuran font tulisan juga tidak terlalu kecil dan paragrafnya tidak rapat, jadi tidak terlalu capek bacanya.

Format buku yang lebih banyak berbentuk dialog, bukan narasi, juga membuat buku ini lebih mudah lagi dicerna. Pembaca tidak perlu repot-repot "mengingat" deskripsi pendukung dari masing-masing tokoh dan setting lokasi, jadi bisa lebih fokus dengan cerita utama.

Saking iritnya narasi, pembaca bahkan tidak tahu banyak soal fisik karakternya, kecuali latar yang benar-benar penting, seperti profesi.

2. Hanya ada sedikit karakter

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline