Lihat ke Halaman Asli

Kasus Hukum Pandangan Filsafat Hukum Positivisme, Apa Mazhab Hukum Positivisme, dan Argumen Mazhab Hukum Positivisme di Indonesia

Diperbarui: 24 September 2024   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

1.Cari kasus hukum dan berikan analisis menggunakan cara pandang filsafat hukum positivism?

Salah satu kasus hukum di tahun 2024 yang menarik perhatian adalah sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK). Tim pasangan Anies-Muhaimin (AMIN) mengajukan gugatan terkait pelanggaran kampanye dan ketidaknetralan pejabat daerah dalam mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Namun, MK menolak dalil tersebut dengan alasan bukti yang diajukan tidak cukup kuat secara hukum, seperti laporan resmi kepada Bawaslu yang tidak dilakukan tepat waktu.

Dalam analisis positivisme hukum, putusan MK ini mencerminkan penerapan hukum positif yang ketat berdasarkan aturan tertulis. Hukum positivisme memandang bahwa keabsahan hukum tidak didasarkan pada moralitas atau etika, melainkan pada kesesuaiannya dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam kasus ini, meskipun ada dugaan pelanggaran, MK menolak gugatan karena tidak sesuai dengan prosedur hukum formal dan aturan yang berlaku, seperti minimnya bukti konkret dan laporan resmi.

Dalam konteks hukum di Indonesia, positivisme hukum ini mendominasi pengambilan keputusan, di mana sistem peradilan lebih mengutamakan peraturan formal daripada pertimbangan moral atau keadilan substantif

2.Apa itu Mazhab Hukum Positivisme?

Positivisme hukum adalah mazhab atau aliran pemikiran dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan diakui dalam suatu negara, terlepas dari pertimbangan moralitas. Menurut positivisme, hukum adalah law as it is (hukum apa adanya), bukan law as it should be (hukum yang seharusnya).

Tokoh penting dalam mazhab ini adalah John Austin dan H.L.A Hart. Mereka berpendapat bahwa hukum harus dipisahkan dari nilai-nilai moral, sehingga hukum tidak perlu "baik" secara moral, tetapi harus "sah" secara prosedural. Artinya, hukum yang berlaku adalah hukum yang dibuat oleh otoritas yang memiliki kekuasaan hukum, terlepas dari apakah hukum tersebut dianggap adil atau tidak.

3. Bagaimana argumen Anda tentang mazhab hukum positivisme dalam hukum di Indonesia?

Di Indonesia, hukum positivisme masih memiliki pengaruh yang kuat, terutama dalam praktik penegakan hukum yang berbasis pada hukum tertulis (hukum positif). Indonesia menganut sistem hukum campuran, namun hukum tertulis tetap menjadi sumber utama dalam proses peradilan. Ini terlihat jelas dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum oleh lembaga negara, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Salah satu argumen penting dalam penerapan positivisme hukum di Indonesia adalah bahwa ia memberikan kepastian hukum. Setiap peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang sah harus diikuti tanpa mempertanyakan moralitasnya. Namun, kelemahan dari pendekatan ini adalah bisa mengabaikan aspek keadilan substansial dan nilai-nilai moral yang penting dalam kehidupan masyarakat.

Misalnya, beberapa Perda yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas atau Perda yang bertentangan dengan hak asasi manusia bisa saja lolos dalam kerangka positivisme hukum, selama prosedur pembuatannya sah. Ini menunjukkan bahwa dalam konteks Indonesia, perlu ada keseimbangan antara positivisme hukum dan nilai-nilai keadilan serta moralitas yang lebih universal.

nama : nabilla kusumaningayu Hariyanto

nim   : 222111238

kelas : 5F

Dosen pengampu: Dr. Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag

#uinsaidsurakarta2024 #muhammadjulijanto #prodihesfasyauinsaidsurakarta2024




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline