Lihat ke Halaman Asli

Nabil Abdillah Kuntoro

pelajar sekolah

Insiden Air France 447: Sebuah Pelajaran Berharga Dalam Keselamatan Penerbangan

Diperbarui: 24 September 2023   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Air France Penerbangan 447 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pada malam hari di tanggal 31 mei 2009, sebuah pesawat dengan tipe Airbus A330 seri 200 yang dimiliki oleh maskapai flag carrier milik Perancis, Air France dengan nomor penerbangan AF447 dijadwalkan lepas landas meninggalkan Bandar udara Galeao di Rio de Janeiro, Brazil menuju bandar udara Charles de gaulle di Paris, Prancis. Pesawat itu meninggalkan Rio de Janeiro, minggu malam  pukul 19.00 waktu setempat dan diperkirakan akan tiba di Paris, senin siang  pukul 11.15 waktu setempat. Tiga Jam enam menit setelah terbang, pesawat menghilang dari pantauan radar ATC Rio de Janeiro. Disaat yang sama,  ATC Senegal di Benua Afrika yang memantau penerbangan AF 447 juga kehilangan kontak atas pesawat. Kondisi menjadi semakin buruk setelah pihak produsen pesawat, Airbus yang bermarkas di perancis juga tidak dapat menghubungi penerbangan AF 447, penerbangan AF447 dinyatakan hilang. 

penemuan bangkai pesawat

lokasi kecelakaan

Tim sar Brazil segera melakukan pencarian di lepas pantai negara bagian Rio Grande do Norte, dengan membawa hasil yang nihil. Pihak pers perancis menyatakan Air france dengan nomor penerbangan  447 dinyatakan mengalami kecelakaan dan tidak ada korban yang selamat. Setelah dilakukan investigasi selama lebih dari 2 tahun, hasil penyelidikan menemukan pesawat tercebur ke laut akibat kru salah membaca indikator kecepatan pesawat, yang mengakibatkan pesawat mengalami stall. Hal ini diduga disebabkan membekunya tabung pitot, tabung yang digunakan untuk mengukur kecepatan pesawat, sehingga mengganggu aliran udara, yang akhirnya mengganggu instrumen kecepatan.

tabung pitot

Pada 5 Juli 2012, BEA mengeluarkan laporan akhir investigasi kecelakaan tersebut. Terdapat beberapa faktor yang kompleks sebagai penyebab dari  kecelakaan tragis ini, namun faktor utama adalah ketiadaan hubungan antar kru saat autopilot terputus. Hal ini terlihat pada saat pilot yang memegang kendali, Pierre-Cedric Bonin, melaksanakan instruksi yang salah pada saat pesawat mengalami Stall, yaitu kondisi dimana pesawat kehilangan daya angkatnya. Pada umumnya pilot akan berusaha menurunkan hidung pesawat ketika mengalami stall, namun pilot saat itu, Pierre-Cedric Bonin justru melakukan hal sebaliknya yaitu dengan tetap berusaha menaikkan hidung pesawat sehingga hal tersebut memperburuk keadaan. Ditambah lagi, pilot yang lebih senior, David Robert tidak menyadari situasi dalam pesawat 3 menit sebelum menghantam air. Kekacauan yang terjadi di ruang kokpit pada malam itu dipicu oleh kurangnya  pengalaman dan training pada kru dalam menghadapi situasi semacam itu. Hasil investigasi menegaskan bahwa pelatihan yang efektif serta kerjasama dalam menghadapi tantangan yang tidak terduga merupakan poin yang krusial, mengingat bahkan sekelas pilot yang berpengalaman dapat rentan melakukan blunder ketika menghadapi dalam melaksanakan prosedur ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.

Beberapa pihak berpendapat bahwa kecelakaan ini berakar atas buruknya desain dan sistem pada kokpit pesawat yang dinilai kurang stabil. Hal ini terdapat pada ketidakkonsistenan indikator kecepatan yang disebabkan oleh terhalangnya pipa pitot oleh kristal es, sehingga informasi mengenai kecepatan pesawat menjadi terdistrupsi dan ini akan mengganggu pilot dalam penerbangan. Selain itu, terhalangnya pipa pitot menyebabkan mode autopilot  menjadi mati sehingga penerbangan beralih pada mode manual. Namun penting untuk mengingat bahwa tidak ada sistem automasi yang dapat mengatasi segala skenario. Kecelakaan yang disebabkan oleh human-error  semacam ini dapat dicegah dengan pelatihan penerbangan yang lebih dalam disertai dengan pemahaman fundamental akan sistem pada pesawat, untuk menghadapi berbagai situasi yang tidak terduga.

Secara keseluruhan, pihak penyelidik menemukan berbagai isu yang berhubungan dengan hal teknis dan human-error. Sangat penting untuk melakukan berbagai perbaikan pada desain dan sistem automasi pada pesawat. Namun, tidak dapat dipungkiri betapa krusialnya kru penerbangan yang terlatih dan berpengalaman. Perlu adanya kurikulum penerbangan yang lebih detail berkaitan dengan prosedur dalam menghadapi hal-hal yang mengganggu keselamatan penerbangan. Kecelakaan ini mendorong industri aviasi untuk semakin memprioritaskan pelatihan penerbangan yang lebih detail dan menyusun protokol komunikasi dalam kokpit untuk mencegah kecelakaan semacam ini kembali terjadi dikemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline