Persoalan kuliah masih menjadi salah satu topik pembicaraan yang cukup menarik di kalangan masyarakat. Terlebih lagi menjelang akhir tahun seperti saat ini, anak-anak yang saat ini sedang duduk di bangku akhir SMA/sederajat sedang dibuat bimbang dengan realita kehidupan yang akan mereka jalani setelah lulus SMA. Setelah lulus SMA tentu saja setiap anak mempunyai kebebasan untuk memilih kehidupan seperti apa yang akan mereka jalani, mereka diberikan pilihan apakah setelah lulus SMA akan langsung bekerja atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada akhirnya, sebagian dari mereka ada yang memilih untuk langsung bekerja dan sebagian yang lain memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, pada topik pembahasan kali ini saya akan lebih menyoroti siswa yang memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi atau biasa kita sebut dengan kuliah. Semua siswa SMA yang memilih untuk melanjutkan pendidikannya bisa dipastikan mereka memiliki cita-cita untuk berkuliah di kampus-kampus ternama baik di Indonesia maupun di luar negeri. Mereka menganggap dengan berkuliah di kampus -kampus ternama harapannya bisa mempermudah mereka untuk mendapatkan pekerjaan nantinya, padahal realitanya tidak selalu begitu. Banyak lulusan kampus-kampus ternama yang juga kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Saat membahas keterkaitan antara kuliah dan kerja, tidak heran lagi jika terdapat pro kan kontra mengenai pentingnya kuliah terhadap jenis pekerjaan yang akan dijalani setelahnya. Beberapa menganggap kuliah penting, karena dengan kuliah seseorang bisa lebih mendalami ilmu dan keterampilan sesuai minat jurusannya saat kuliah. Akan tetapi, faktanya mereka yang kuliah juga belum tentu mereka masuk di jurusan yang sesuai minatnya, bahkan banyak mahasiswa di Indonesia yang mengaku salah jurusan sehingga mereka tidak memaksimalkan kesempatan kuliahnya dengan baik dan berdalih salah jurusan. Inilah salah satu faktor yang menjadikan pengangguran pada lulusan sarjana lumayan tinggi. Mereka tidak memanfaatkan masa kuliahnya dengan baik, mereka tidak mengembangkan keterampilan dan bakat yang mereka miliki, mereka tidak aktif beroganisasi, dan masih banyak lagi kesempatan yang mereka buang sewaktu duduk di bangku kuliah. Jika sudah begini maka skill apa yang bisa mereka gunakan untuk menunjang peluang mereka diterima kerja? Maka tidak heran lagi jika banyak sarjana yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. Akhirnya muncullah pemikiran bahwa kuliah tidak terlau penting karena keterampilanlah yang lebih dibutuhkan saat bekerja.
Beralih ke media sosial, mengenai topik perkuliahan ternyata tidak hanya ramai di real life, namun nyatanya di sosial media topik pembahasan mengenai kuliah juga menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan, saat ini banyak cuitan yang muncul di media sosisal tentang prespektif lulusan sarjana. Beberapa dari mereka mengakatan "Sarjana kok nganggur?" "Gelar aja yang elit tapi kerja sulit." "Kuliah tuh udah buang-buang duit , taunya hidupnya tetep aja sulit." "Kuliah buat apa sih? Cuma nunda pengangguran kan?" "Kuliah tuh sebenarnya masuk kategori pegangguran, pengangguran dengan gaya." " Kuliahnya si di kampus X (favorit) tapi masih nganggur, dia yang cuma lulusan SD aja jadi pengusaha buat apa kuliah?" dan masih banyak cuitan lain yang lebih menohok. Hal ini lah yang menjadi salah satu pertimbangan bagi anak-anak yang duduk di bangku akhir SMA saat memilih untuk melanjutkan pendidkan tinggi. Fakta lapangan memang benar demikian, banyak lulusan sarjana yang masih sulit mendapatkan pekerjaan.
Berdasarkan jenis pekerjaannya, lapangan kerja dibagi menjadi dua, yakni lapangan kerja formal dan lapangan kerja informal. Menurut data BPS, hingga akhir 2022, rata-rata persentase lapangan kerja informal meningkat ke 47,45% dibandingkan pada akhir 2015 lalu sebanyak 45,97%. Namun peningkatan ini masih belum bisa menangani permasalahan kesenjangan pencari kerja dengan ketersediaan lapangan kerja. Berbagai lapangan pekerjaan terbuka setiap waktu di seluruh Indonesia, akan tetapi jumlah pencari pekerjaan jauh lebih banyak dibandingkan dengan kuota yang tersedia. Selain kurangnya lapangan pekerjaan, mari kita beralih ke salah satu faktor yang menyebabkan lulusan sarjana sulit mendapatkan pekerjaan. Selain faktor lapangan kerja yang minim, terdapat juga faktor internal dari si pencari kerja sendiri yang menyebabkan mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Sedikitnya pengalaman, keahlian yang pas-pasan, dan relasi yang sempit, juga menjadi faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan. Terlebih lagi kebanyakan lulusan sarjana mereka enggan mencoba untuk bekerja apa adanya, mereka cenderung memilih pekerjaan yang elit karena merasa dirinya memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang hanya lulus SMA. Padahal sebenarnya kerja di mana saja asalkan enjoy lebih baik daripada menjadi pengangguran, setelah lulus kuliah sebenarnya kerja apapun sesuai minat dan bidangnya tidak ada salahnya untuk dicoba. Banyak orang sukses yang menjadikan pekerjaan pertama mereka sebagai batu loncatan untuk menuju pekerjaan yang diimpikan. Nyatanya bekerja di tempat-tempat juga elit belum tentu menjamin mereka dapat menjalaninya dengan senang hati. Dengan prinsip ini, sebenarnya mendapatkan pekerjaan tidaklah sulit, ego yang tinggi inilah yang sebenarnya menyulitkan lulusan sarjana untuk mendapatkan pekerjaan. Sebagai mahasiswa yang kreatif, akan lebih baik jika dirinyalah yang membuka lapangan pekerjaan, bukan justru bekerja di tempat orang lain. Dengan semakin banyaknya lulusan sarjana yang membuka lapangan pekerjaan, diharapkan kasus pengangguran di Indonesia dapat turun sedikit demi sedikit.
Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2023 mencapai 6,24 persen, dan naik dari 5,92 persen pada bulan sebelumnya. Jumlah penduduk yang menganggur pada Februari 2023 mencapai 8,45 juta orang, yakni naik dari 8,02 juta orang pada Januari 2023. Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI, Ida Fauziyah, mengatakan sekitar 12 persen pengangguran di Indonesia saat ini didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma. Menurutnya, besarnya jumlah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi ini dikarenakan tidak adanya link and match antara perguruan tinggi dengan pasar kerja. "Kita masih punya PR (Pekerjaan Rumah) bahwa jumlah pengangguran lulusan sarjana dan diploma masih di angka 12 persen karena tidak adanya link and match," kata Ida kepada wartawan setelah menghadiri upacara wisuda anaknya, Syibly Adam Firmanda, yang merupakan lulusan sarjana psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rabu (22/2), di Grha Sabha Pramana UGM.
Berdasarkain uraian yang telah saya paparkan, pada akhirnya yang ingin saya tekankan di sini adalah kata "sarjana". Ya, memang benar lulusan sarjana mempunyai privilladge dibandingkan dengan lulusan SMA, namun kebayakan orang salah memahami konsep dan tujuan utama kuliah. Kuliah memang tidak menjamin seseorang untuk sukses, tetapi kuliah bisa memperbesar peluang seseorang untuk sukses. Dengan berkuliah, harapannya seseorang bisa lebih mengeksplorasi lingkungan sekitar, memperluas relasi, dan meningkatkan keterampilan serta pengetahuan. Berkuliah belum tentu sukses, tidak berkuliah juga belum tentu gagal. Pada akhirnya keterkaitan permasalahan kuliah dan tidak berkuliah terhadap pekerjaan kembali ke pribadi masing-masing, siapa yang rajin, mempunyai keterampilan yang bagus, relasi yang luas, dan bertanggung jawab, merekalah yang memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan suatu pekerjaan, terlepas dari apakah seseorang itu lulusan SMA ataupun lulusan sarjana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H