Lihat ke Halaman Asli

Senyum Badut, Cermin Kemanusiaan Kita

Diperbarui: 20 November 2024   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto bersama badut anak-anak di masjid Al-Muhajirin Universitas Siliwangi

Oleh : Nabila Zahra Nurafiah, Putik Tari Priadi, Deva Faegah Farham, Dinda Nabila Octavia Putri, dan Alifa Fachira

Badut jalanan merupakan sebuah fenomena sosial perubahan praktik mengemis, dimana seseorang menggunakan kostum dan topeng badut untuk menarik perhatian publik di tempat-tempat umum, seperti jalan raya, lampu merah, pusat perbelanjaan atau masjid. 

Badut jalanan hadir dengan penampilan yang mencolok, dengan kostum yang berwarna-warni dan unik. Awalnya, profesi badut identik dengan hiburan di acara-acara tertentu. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah badut jalanan lebih sering dikaitkan dengan praktik mengemis.

Penggunaan kostum badut dianggap sebagai cara baru untuk menarik simpati dan mendapatkan uang dengan lebih mudah dibandingkan dengan mengemis konvensional. Fenomena ini memunculkan berbagai pandangan di masyarakat, mulai dari simpati hingga ketidaknyamanan.

 Stereotipe negatif terhadap badut jalanan seringkali muncul karena kurangnya pemahaman tentang kondisi sosial ekonomi yang melatar belakangi mereka. Stereotipe yang melekat pada mereka seringkali dikaitkan dengan kemiskinan, ketidakmampuan, bahkan kriminalitas. Maka dari itu, kita tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya dalam hal ini, karena mereka pasti memiliki alasan untuk melakukan pekerjaan sebagai badut jalanan.

Bagi sebagian orang, menjadi badut jalanan bisa menjadi mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi tekanan hidup. Dengan menyembunyikan identitas di balik topeng, mereka merasa lebih aman dan terlindungi dari stigma sosial. 

Pak Aas seorang badut jalanan, berusia 30 tahun yang kami temui di sekitaran Universitas Siliwangi mengaku bahwa merasa lebih aman karena menggunakan kostum, "Takut orang marah, tapi gak apa-apa, Bapak mah kan badut, jadi ditutupin. Karena kalo ngamen mah kan kelihatan mukanya ", ujar Pak Aas.

Dibalik kostum badutnya yang lucu, terdapat beban tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ada berbagai penyebab mereka menjadi badut jalanan, bisa karena faktor ekonomi yaitu kemiskinan, kehilangan pekerjaan, atau kebutuhan untuk membantu keluarga. 

Faktor sosial seperti kurangnya pendidikan, tidak memiliki keterampilan khusus, atau pengaruh lainnya. Intinya, menjadi badut jalanan seringkali merupakan pilihan terakhir karena kondisi sosial ekonomi sulit.

Foto bersama badut jalanan di Tasikmalaya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline