Pandemic weight gain, sesuai namanya, berarti kenaikan berat badan selama pandemi. Kenaikan berat badan ini dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat yang drastis semenjak diberlakukannya social distancing. Sebuah studi dari Amerika menemukan bahwa 42% dari warganya mengalami kenaikan berat badan yang tidak diinginkan. Jadi, kalau kalian merasa bertambah 'melar' selama pandemi, jangan khawatir karena kalian tidak sendiri.
Namun, apa sih yang membuat masyarakat sejagad raya mendadak naik berat badannya ketika pandemi? Untuk tahu itu, teman-teman harus tahu faktor-faktor penyebabnya dulu. Naik-turunnya berat badan dipengaruhi oleh calories in, calories out. Sementara itu, Pandemi COVID-19 menyebabkan (1) berkurangnya kalori yang keluar (menurunnya aktivitas fisik), dan (2) meningkatkan kalori yang masuk (frekuensi makan bertambah).
Berkurangnya aktivitas fisik
Kebijakan seperti social distancing dan WFH (work from home) mengekang aktivitas masyarakat sebatas di dalam rumah. Masyarakat tidak lagi mampu melakukan aktivitas sederhana seperti berjalan di sekolah/ tempat kerja, naik-turun tangga, berpindah-pindah ruangan atau berjalan ke kantin.
Lalu, orang-orang yang terbiasa olahraga jogging, bersepeda, atau nge-gym juga harus menghentikan rutinitasnya selama pandemi. Berkurangnya gerakan fisik ini menyebabkan kalori yang dibakar kurang dari biasanya sehingga lebih sulit untuk menurunkan berat badan.
Menjadwalkan olahraga dirumah merupakan solusi yang bagus, tetapi pada prakteknya sulit untuk dilakukan. Banyak hambatannya seperti ruangan dan peralatan yang tidak cukup, serta distraksi dari pekerjaan, hiburan dan masih banyak lagi. Diperlukan komitmen dan usaha yang ekstra untuk menjadwalkan olahraga secara rutin di rumah sendiri.
Frekuensi makan bertambah
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kebijakan pandemi membuat kita beraktivitas sebatas di dalam rumah saja, dengan berbagai hambatan dan distraksinya.
Salah satu distraksi yang ada adalah akses cepat pada makanan. Baik orang itu sedang sekolah atau bekerja, mereka bisa dengan bebas menyelesaikan tugas sambil ngemil kapan saja. Berbeda dengan waktu sebelum pandemi ketika jam istirahat untuk makan sudah dijadwalkan dan apabila dilanggar akan mendapat teguran atau sanksi.
Stres juga merupakan faktor meningkatnya konsumsi makanan atau disebut juga stress eating. Kala seseorang merasa gelisah, murung, sedih, tubuh bisa terangsang untuk mengonsumsi makanan sebagai coping mechanism.
Pandemi COVID-19 tentu memicu berbagai macam emosi negatif seperti takut tertular virus, merasa terisolasi karena social distancing, hingga tekanan ekonomi. Banyak orang yang akhirnya melampiaskan emosi tersebut pada konsumsi makanan yang berlebihan.