Lihat ke Halaman Asli

Nabila Rizki Firdaus

mahasiswa ilmu komunikasi

Pencitraan Politik dan Tantangan Kepercayaan Publik di Indonesia

Diperbarui: 26 Desember 2024   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Twitter

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi terutama di era digital saat ini komunikasi politik Indonesia telah mengalami transformasi yang signifikan. Politisi dan partai politik telah menggunakan media sosial sebagai arena baru dalam beberapa tahun terakhir untuk berinteraksi dengan publik, menyampaikan pesan, dan membangun citra di platform-platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok tidak hanya menyediakan saluran komunikasi yang cepat dan luas, tetapi juga memungkinkan politisi menjangkau audiens yang lebih beragam, termasuk generasi muda yang merupakan pemilih potensial yang tentunya tujuan akhirnya adalah agar mendapat suara.

Dalam konteks ini, pencitraan politik menjadi salah satu strategi utama yang digunakan untuk menarik perhatian pemilih dan membentuk persepsi publik. Pencitraan ini tidak hanya melibatkan cara politisi menyampaikan pesan, tetapi juga bagaimana mereka membangun identitas dan karakter yang diinginkan di mata masyarakat. Politisi sering kali menggunakan teknik-teknik seperti storytelling, visualisasi, dan interaksi langsung untuk menciptakan citra yang positif dan relatable. Misalnya, banyak politisi yang membagikan momen-momen personal atau kegiatan sosial mereka di media sosial untuk menunjukkan sisi humanis dan kedekatan mereka dengan rakyat.

Fenomena ini sangat relevan mengingat Indonesia adalah negara demokrasi yang sedang berkembang, di mana pemilih semakin kritis dan terinformasi. Dengan akses yang lebih mudah terhadap informasi, masyarakat kini lebih mampu menganalisis dan mengevaluasi pesan-pesan politik yang mereka terima. Namun, di sisi lain, penggunaan media sosial juga dapat memperburuk polarisasi politik. Ketika politisi dan pendukung mereka menggunakan platform ini untuk menyerang lawan politik atau menyebarkan informasi yang menyesatkan, hal ini dapat menciptakan ruang bagi disinformasi dan memperdalam perpecahan di masyarakat.

Lebih jauh lagi, pencitraan politik yang berlebihan atau tidak autentik dapat menyebabkan ketidakpercayaan di kalangan publik. Masyarakat yang semakin cerdas dan kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi dapat dengan cepat mendeteksi ketidakcocokan antara citra yang dibangun oleh politisi dan realitas yang ada. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis bagaimana pencitraan politik dilakukan di era sosial media, serta dampaknya terhadap masyarakat dan kualitas demokrasi di Indonesia. Dalam esai ini, kita akan menggali lebih dalam tentang teknik-teknik pencitraan yang digunakan oleh politisi, dampaknya terhadap persepsi publik, serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga integritas komunikasi politik di tengah arus informasi yang begitu deras. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang dinamika ini, diharapkan kita dapat menemukan cara untuk memperkuat komunikasi politik yang sehat dan konstruktif di Indonesia.

Media sosial telah berkembang menjadi salah satu platform utama yang digunakan oleh politisi untuk berkomunikasi dengan publik. Dalam era digital saat ini, platform-platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok tidak hanya menjadi sarana untuk berbagi informasi, tetapi juga sebagai alat interaksi yang memungkinkan politisi untuk terhubung secara langsung dengan pemilih mereka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023, menjadikannya sebagai saluran komunikasi yang sangat efektif dan strategis untuk menjangkau pemilih yang lebih luas.

Politisi memanfaatkan media sosial untuk berbagai tujuan yang beragam, mulai dari menyampaikan informasi tentang program dan kebijakan yang mereka usung, hingga membangun citra diri yang positif di mata publik. Misalnya, banyak politisi yang menggunakan Instagram untuk berbagi momen-momen personal yang menggambarkan kehidupan sehari-hari mereka, seperti kegiatan sosial, interaksi dengan keluarga, atau hobi yang mereka geluti. Tujuan dari pengungkapan ini adalah untuk menunjukkan sisi humanis mereka, sehingga dapat menciptakan kedekatan emosional dengan pemilih. Hal ini sejalan dengan teori komunikasi interpersonal yang menyatakan bahwa kedekatan emosional dapat dibangun melalui pengungkapan diri (self-disclosure). Dengan cara ini, politisi tidak hanya dilihat sebagai sosok yang jauh dan formal, tetapi juga sebagai individu yang memiliki kehidupan dan pengalaman yang dapat dihubungkan dengan masyarakat.

Pencitraan politik di era media sosial melibatkan berbagai teknik yang dirancang untuk membentuk persepsi publik terhadap seorang politisi. Salah satu teknik yang umum digunakan adalah storytelling, di mana politisi menceritakan kisah-kisah inspiratif yang berkaitan dengan pengalaman pribadi mereka atau perjuangan masyarakat yang mereka wakili. Teknik ini tidak hanya membuat pesan yang disampaikan menjadi lebih menarik dan mudah diingat, tetapi juga menciptakan koneksi emosional yang lebih dalam dengan pemilih. Dengan menceritakan kisah-kisah yang relevan, politisi dapat membangun narasi yang kuat dan menggugah, yang dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap isu-isu tertentu.

Selain itu, penggunaan elemen visual yang menarik, seperti foto dan video, juga menjadi bagian penting dari strategi pencitraan yang efektif. Politisi sering kali menggunakan konten visual yang dirancang secara profesional untuk menarik perhatian dan meningkatkan daya tarik pesan yang mereka sampaikan. Misalnya, dalam kampanye pemilihan umum, banyak politisi yang memanfaatkan platform TikTok untuk membuat video pendek yang kreatif, menghibur, dan informatif, dengan tujuan untuk menjangkau generasi muda, yang merupakan pemilih potensial dan sangat aktif di media sosial.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pencitraan politik tidak selalu memiliki konotasi positif. Dalam beberapa kasus, teknik pencitraan dapat disalahgunakan sebagai alat untuk manipulasi dan penyebaran informasi yang menyesatkan. Misalnya, politisi dapat menggunakan foto atau video yang diambil dalam konteks tertentu untuk menciptakan kesan yang tidak akurat tentang diri mereka atau situasi yang mereka hadapi. Praktik semacam ini dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpercayaan di kalangan publik, serta merusak integritas proses politik. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis dan selektif dalam menyerap informasi yang disampaikan melalui media sosial, serta memahami bahwa tidak semua yang terlihat di platform tersebut mencerminkan realitas yang sebenarnya.

Pencitraan politik yang dilakukan melalui media sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap persepsi publik. Di satu sisi, pencitraan yang efektif dapat meningkatkan popularitas dan dukungan terhadap seorang politisi. Politisi yang berhasil membangun citra yang kuat di media sosial cenderung lebih berhasil dalam meraih dukungan pemilih. Misalnya, politisi yang mampu menyampaikan pesan dengan cara yang menarik dan relatable, serta menunjukkan komitmen terhadap isu-isu yang relevan bagi masyarakat, sering kali mendapatkan respons positif dari publik. Hal ini menunjukkan bahwa pencitraan yang baik tidak hanya berfungsi untuk menarik perhatian, tetapi juga untuk membangun hubungan yang lebih dalam dan berkelanjutan dengan pemilih, yang pada akhirnya dapat memengaruhi hasil pemilihan.

Namun, di sisi lain, pencitraan yang berlebihan atau tidak autentik dapat menyebabkan backlash. Publik semakin cerdas dan kritis terhadap informasi yang mereka terima, sehingga jika mereka merasa bahwa pencitraan yang dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan, hal ini dapat merusak reputasi politisi. Fenomena ini terlihat dalam beberapa kasus di mana politisi yang terlibat dalam skandal atau kontroversi mengalami penurunan dukungan yang signifikan. Ketika publik merasa bahwa politisi tidak jujur atau hanya berusaha menciptakan citra yang sempurna tanpa mencerminkan realitas, kepercayaan yang telah dibangun dapat runtuh dalam sekejap. Dalam konteks ini, transparansi dan keautentikan menjadi kunci penting dalam pencitraan politik. Sebagai contoh, Ridwan Kamil, yang mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta, menggunakan media sosial untuk membangun citra positif melalui kegiatan sosial dan interaksi langsung dengan masyarakat. Namun, cuitan-cuitan kontroversialnya di masa lalu, yang dianggap seksis, kembali viral dan menimbulkan backlash, menunjukkan bahwa pencitraan yang tidak autentik dapat merusak reputasi dan kepercayaan publik. Oleh karena itu, penting bagi politisi untuk menjaga konsistensi antara citra yang dibangun dan tindakan nyata mereka di lapangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline