Lihat ke Halaman Asli

Nabila Rizka Awalia

Penulis Pemula

Hak Previlege? Setiap Orang Memiliki Kemampuan Berbeda, Stop Membandingkan!

Diperbarui: 26 Februari 2022   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti sebuah training. Jika di dalam perusahaan biasanya training dilakukan setelah tanda tangan kontrak kerja, di perusahaan yang satu ini berbeda, training dilakukan sebelum tandatangan kontrak. Saya dan ketiga peserta lainnya adalah calon pegawai. Dua dari kami yang akan lolos dan diterima bekerja di perusahaan tersebut. 

Hari pertama membahas seputar impian. Kami diberi tugas rumah membuat daily activity dan goals satu tahun kedepan, lima tahun kedepan, dan sepuluh tahun kedepan beserta langkah-langkah mewujudkannya. Yaa, dibuat sedemikian rupa seperti agar lebih terlihat dan terdengar nyata. 

Di hari kedua kami mempresentasikannya. Satu persatu. Kini giliran saya untuk mempresentasikan impian saya. Sebagai pembuka presentasi saya, saya mengutarakan bagaimana mimpi bisa mempengaruhi. Saya pun teringat sebuah kalimat pada postingan salah satu akun instagram psikologi tentang impian. Dikatakan, "jika seseorang mengumbar impiannya, maka keinginan atau hasrat untuk mencapainya menurun". Hal ini disebabkn otak yang mencerna itu menjadikannya seolah nyata, seolah kita telah merasakannya. Sehingga muncullah kepuasan dan rasa menunda-nunda untuk berusaha mencapai impian tersebut. 

Kemudian saya berbicara tentang hak privilege. Saya menyampaikan bahwa setiap orang berhak untuk bermimpi. Namun tidak semua berkesempatan mewujudkannya. Bukan faktor tidak ingin atau minimnya usaha yang dikerahkan. Seringkali kegagalan itu disebabkan karena kita tidak memilik hak previlege seperti sebagian orang lainnya. Misalnya salah satu bentuk hak previlege yang membedakan kita dengan yang lain ialah kondisi finansial. Orang yang memiliki finansial yang stabil bisa menjadi batu loncatan untuk dia menuju impianya. 

Kita umpamakan di sini dua orang, si A dan si B. Mereka adalah anak berprestasi di sekolah, keduanya bercita-cita untuk study abroad. Beberapa tahun kemudian, keduanya lulus dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Masih pada impian mereka yaitu study abroad. 

Mereka kemudian mempersiapkan diri untuk menghadapi tes ke luar negeri. Si A dengan kondisi finansial keluarga yang pas-pasan tetap berusaha dengan segenap kemampuan yang ada pada dirinya, tanpa bantuan dari kedua orang tuanya. Karena si A tahu bahwa orang tuanya tidak akan mampu membiayainya untuk kursus. Di lain sisi, si B pun mempersiapkan diri. Karena kondisi finansial orang tua si B yang baik, oleh orang tuanya dibekali dengan kursus di lembaga terbaik di kotanya. 

Singkat cerita pengumuman penerimaan peserta didik pun tiba. Si A dan si B pun lolos dalam seleksi masuk peruguruan tinggi impian mereka. Namun ternyata keduanya tidak bersama di perguruan tinggi tersebut. Hanya si B yang telah memulai perkuliahan. 

Ternyata usut punya usut, di awal penerimaan mahasiswa, mereka dimintai biaya yang cukup tinggi untuk mendaftar ulang kembali. Karena si A tidak cukup biaya, akhirnya dengan berat hati ia melepaskan kesempatan itu untuk berkuliah di perguruan tinggi impiannya. Sedangkan di lain tempat, si B dengan finansial yang baik tidak mempermasalahkan biaya daftar ulang yang bagi si A sangatlah mahal. 

Dari perumpamaan tersebut, saya ingin menyampaikan sebuah pesan. Bahwa tidak ada impian yang impossible, semuanya possible untuk diraih. Hanya saja, orang yang memiliki previlege memiliki start lebih depan daripada mereka yang tidak memiliki previlege. Dan mereka yang tidak memilih hak previlege mau tidak mau harus berusaha lebih keras dari mereka yang memiliki hak previlege. 

Jadi stop mengatakan kepada siapa saja yang sedang berusaha "dia aja bisa, masa kamu gak bisa? ". Stop. Karena kita tidak tahu, pengorbanan apa yang telah dia lakukan dan kesusahan apa yang telah ia rasakan. Jalan hidup orang berbeda. Kemampuan setiap orang pun berbeda-beda. Jangan pernah membandingkan kemampuan renang ikan dengan kera, atau sebaliknya, membandingkan kemampuan kera memanjat dengan ikan. Karena itu tidak akan pernah sama. 

Banyak orang tua pun seringkali membandingkan satu anak dengan anak lainnya. Membandingkan si kakak dengan si Adik dengan alasan "untuk menyemangati". Mungkin sebagian orang tua perlu tahu bahwa "membandingkan" itu tidaklah sama dengan menyemangati. Bisa saja dengan sikap parents yang seperti itu justru membuat "jalan buntu" di otak anak. Membuat anak menilai bahwa yang dikatakan hebat, pintar, dan berhasil adalah sesuai dengan apa yang parents selalu ucapkan. Secara tidak langsung akan tertanam mindset "takut gagal" dan "takut mencoba" dalam benak si anak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline