Lihat ke Halaman Asli

Nabil Aqshal

Mahasiswa Hukim Pidana Islam UIN Sunan Gunung Djati

Asas Ta'abbudi dalam Hukum Waris Islam di Indonesia

Diperbarui: 14 Desember 2024   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hukum waris adalah kumpulan ketentuan yang mengatur proses pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya. Istilah lain yang sering digunakan untuk hukum waris adalah faraid, yakni pembagian harta dengan proporsi tertentu yang telah ditetapkan untuk diberikan kepada ahli waris. Dasar utama dalam pelaksanaan hukum waris Islam adalah ketaatan kepada Allah, yang didasari oleh prinsip ketuhanan. Prinsip ini menggarisbawahi bahwa melaksanakan pembagian warisan sesuai dengan pedoman Al-Qur'an dan Hadis merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang muslim. Selain itu, penerapan hukum waris Islam erat kaitannya dengan keimanan kepada Allah Swt. Hal ini tercermin dalam usaha untuk mengamalkan perintah Al-Qur'an dan tuntunan Rasulullah. Oleh karena itu, pelaksanaan hukum waris Islam merupakan wujud nyata dari kepatuhan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Tanpa keimanan yang kuat, seseorang akan kesulitan menjalankan pembagian warisan sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, seorang muslim perlu menjunjung asas ta'abbudi. 

Kata "ta'abbudi" berasal dari bahasa Arab, yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja ta'abbada-yata'abbadu-ta'abbudan, yang bermakna penghambaan, kepatuhan, kerendahan hati, serta ketaatan kepada Allah Swt. Secara umum, atta'abbud berakar dari kata 'abdun dan 'ubudiyyah, yang memiliki arti ibadah dan pengabdian. Dalam pandangan ahli fikih, atta'abbudi dipahami sebagai sesuatu yang tidak memerlukan pembenaran logis, terutama dalam konteks ibadah. Dalam hal ini, manusia bersifat pasif dan tidak memiliki wewenang untuk menentukan bentuk ibadah hanya berdasarkan logika semata. Semua ibadah harus berlandaskan wahyu atau nash dari Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW. Misalnya, aturan jumlah rakaat dalam salat, seperti zuhur, asar, dan isya yang masing-masing empat rakaat, magrib tiga rakaat, serta subuh dua rakaat. Sebagian ulama mendefinisikan atta'abbudi sebagai perintah atau larangan dalam nash yang maknanya tidak sepenuhnya dapat dipahami. Hal ini mengindikasikan bahwa para ahli fikih mengartikan atta'abbudi sebagai ketetapan hukum yang tidak memiliki alasan ('illat) yang jelas, meskipun terkadang terdapat hikmah tertentu di balik aturan tersebut. Menurut al-Syatibi, ta'abbudi berarti mengikuti sepenuhnya apa yang telah ditetapkan oleh syari' (Allah), atau sesuatu yang menjadi hak khusus Allah. Sementara itu, Muhammad Salam Madkur mengartikan ta'abbudi sebagai pengabdian murni kepada Allah dengan menjalankan perintah-perintah-Nya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunah Rasul tanpa mengubah, mengurangi, atau menambah ketentuan tersebut. Secara istilah, ta'abbudi merujuk pada hukum yang bersumber dari nash (Al-Qur'an dan Sunah) yang harus diterima apa adanya tanpa memerlukan justifikasi logis.

Dengan demikian, ta'abbud dapat dimaknai sebagai aturan hukum yang bersumber dari nash (Al-Qur'an dan Hadis), yang harus diterima dan dijalankan manusia apa adanya tanpa modifikasi atau membutuhkan penalaran logis karena sifatnya yang absolut. Ketentuan ini wajib diikuti sesuai dengan nash tanpa perubahan, pengurangan, atau penambahan. Penambahan dalam ibadah seperti ini sering disebut sebagai bid'ah, istilah yang umum dalam tradisi Islam. Ketetapan yang didasarkan pada nash yang bersifat qath'i (pasti dan tidak terbuka untuk interpretasi) dianggap oleh para ulama fikih sebagai hukum ta'abbud yang harus dilaksanakan umat Islam tanpa mempertanyakan alasan maupun metode pelaksanaannya. Dalam konteks ini, para ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa hukum-hukum yang terkait dengan ibadah mahdhah (ibadah murni) tidak boleh ditafsirkan ulang atau diubah. Contohnya termasuk jumlah rakaat salat wajib, puasa Ramadan, kewajiban membayar zakat, dan pelaksanaan ibadah haji. Semua ketentuan tersebut bersifat mutlak dan manusia hanya berkewajiban menjalankannya sesuai dengan nash Al-Qur'an dan Hadis. Biasanya, hukum ta'abbud ini didasarkan pada dalil yang bersifat pasti (qath'i). Salah satu ketetapan dalam nash yang bersifat qath'i adalah aturan mengenai sistem pembagian waris dalam Islam. Dalam aturan ini, bagian harta warisan untuk laki-laki ditetapkan sebesar satu bagian, sementara untuk perempuan adalah setengah bagian. Meski sekilas terlihat tidak seimbang, hak laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan sebenarnya memiliki kedudukan yang setara. Keadilan dalam konteks ini tidak berarti pembagian yang sama rata, melainkan pembagian yang sesuai dengan prinsip proporsionalitas atau al-mizan, yaitu keseimbangan berdasarkan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Namun, terdapat perbedaan pandangan di kalangan sahabat Nabi SAW terkait cakupan ta'abbud. Beberapa sahabat, seperti Bilal bin Rabah, memandang bahwa semua perintah dan larangan Nabi SAW, baik dalam ibadah maupun muamalah, merupakan sunnah yang harus ditaati. Sebaliknya, sebagian besar sahabat lainnya memfokuskan konsep ta'abbud pada ibadah mahdhah, yang tidak berkaitan dengan nash yang bersifat duniawi. Oleh sebab itu, mereka menggunakan akal untuk menyesuaikan pelaksanaan aturan dengan kondisi mereka, terutama dalam aspek muamalah. Pertimbangan mereka didasarkan pada kepentingan masyarakat dan prinsip keadilan, sebagaimana ditunjukkan oleh tokoh seperti Umar bin Khattab.

Pada awalnya, masyarakat Indonesia yang terlibat dalam sengketa warisan dan beragama Islam memiliki hak opsi, yaitu kebebasan untuk memilih sistem hukum yang akan digunakan dalam menyelesaikan masalah warisan. Hal ini disebabkan Indonesia menerapkan tiga sistem hukum waris yang berbeda. Pertama, hukum adat yang mencakup ketentuan terkait warisan menurut tradisi setempat. Kedua, hukum Islam yang mengatur pembagian waris berdasarkan ajaran agama Islam. Ketiga, hukum Barat yang mengacu pada ketentuan hukum waris dari sistem hukum Eropa. Keberagaman ini berakar pada Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) juncto Pasal 131 IS, yang mengelompokkan penduduk Indonesia menjadi tiga golongan: Eropa, Bumiputra, dan Timur Asing. Masuknya Islam ke Indonesia membawa pengaruh besar terhadap aturan pembagian warisan, yang kemudian disesuaikan dengan adat dan budaya masyarakat setempat hingga menjadi tradisi. Sebagai kelanjutan dari berkembangnya hukum Islam, termasuk sistem waris Islam dan ketentuan terkait perkawinan, didirikanlah Peradilan Agama. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagai lembaga yang berwenang menangani perkara-perkara yang terkait dengan hukum Islam. Dengan demikian, khusus dalam perkara waris Islam, Undang-Undang memberikan kesempatan kepada pihak-pihak terkait untuk menentukan tata hukum warisan yang akan mereka gunakan. Pilihan ini mencakup pengajuan perkara ke Pengadilan Agama, yang menerapkan hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), atau ke Pengadilan Negeri, yang menerapkan hukum barat (KUHPerdata) atau hukum adat. Pilihan tersebut harus dibuat sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Ketika pihak-pihak yang bersengketa telah mengajukan perkara ke salah satu lembaga peradilan, mereka dianggap telah menetapkan pilihan hukumnya sesuai dengan lembaga yang dipilih. Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie menjelaskan bahwa selama pembahasan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA), muncul tiga pandangan terkait pilihan hukum. Pandangan pertama mendukung pemberian kebebasan seluas-luasnya bagi pencari keadilan untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus-kasus perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, dan sedekah. Pandangan kedua menolak adanya pilihan hukum bagi pencari keadilan yang beragama Islam dalam keenam bidang tersebut. Sementara itu, pandangan ketiga mengusulkan adanya pilihan hukum terbatas hanya untuk kewarisan, hibah, dan wasiat. Setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens di kalangan pembuat Undang-Undang, akhirnya dicapai kesepakatan. Untuk perkara perkawinan, wakaf, dan sedekah, Pengadilan Agama diberikan kewenangan penuh atau mutlak. Namun, untuk kasus kewarisan, hibah, dan wasiat, tetap diberikan kebebasan pilihan hukum bagi pencari keadilan. 

Namun, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hak opsi dalam perkara waris bagi umat Islam dihapuskan. Sejak itu, seseorang yang beragama Islam diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa warisan melalui Pengadilan Agama. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan umum angka 1 alinea 2 UU Nomor 3 Tahun 2006, yang mencabut ketentuan sebelumnya dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan:

"Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus."

Penghapusan hak opsi ini secara filosofis merefleksikan penerapan salah satu asas dalam hukum waris Islam, yaitu asas ta'abbudi. Asas ta'abbudi mengacu pada ketentuan hukum yang bersumber dari nash (Al-Qur'an dan Hadis) yang harus diterima sepenuhnya oleh manusia tanpa perubahan dan dilaksanakan sesuai ketetapan yang ada. Ketentuan ini bersifat absolut, sehingga tidak memerlukan pembenaran logis, tidak dapat dinegosiasikan, dan tidak boleh diubah, ditambah, atau dikurangi. Manusia hanya berkewajiban menjalankan aturan tersebut sebagaimana telah ditetapkan dalam nash. Dalam konteks pembagian waris, seorang muslim wajib memilih sistem hukum waris Islam sebagai bentuk ketaatan dan ibadah kepada Allah Swt. Memilih hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya dianggap sebagai bentuk penghambaan kepada selain Allah serta pengingkaran terhadap syariat Islam. Oleh karena itu, penerapan asas ta'abbudi dalam sistem kewarisan Islam di Indonesia telah diwujudkan dengan diubahnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Perubahan ini menghapus hak opsi yang sebelumnya ada, karena pada awalnya asas ta'abbudi belum sepenuhnya diterapkan akibat adanya kebebasan memilih sistem hukum waris dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

Referensi

Harahap, M. Yahya. (1990). Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini.

Leliya. (2017). "Pencabutan Hak Opsi dalam Perkara Waris Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam", Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 2, No. 1.

Manan, Abdul. (2019). Pengadilan Agama: Cagar Budaya Nusantara Memperkuat NKRI. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline