Lihat ke Halaman Asli

Nabil Aqshal

Mahasiswa Hukim Pidana Islam UIN Sunan Gunung Djati

Penerapan Asas Ta'abbudi dalam Penghapusan Hak Opsi Pemilihan Sistem Waris dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

Diperbarui: 4 Desember 2024   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Asas Ta'abbudi merujuk pada aturan-aturan hukum yang bersumber dari nash (Al-Qur'an dan Hadits) yang harus diterima secara utuh oleh manusia dan dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang ada. Ketentuan ini bersifat mutlak, sehingga tidak memerlukan penalaran lebih lanjut, tidak dapat dinegosiasikan, serta tidak boleh diubah, dikurangi, atau ditambah. Tugas manusia adalah melaksanakan ketentuan tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam nash.[1] Hal-hal yang ditetapkan berdasarkan ketentuan nash yang qath'i (pasti, tetap, dan tidak dapat ditafsirkan dengan cara lain) dianggap oleh para fuqaha sebagai perkara ta'abbudi yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh umat Islam tanpa perlu mempertanyakan alasan atau cara pelaksanaannya.[2] Salah satu ketentuan nash yang qath'i adalah mengenai sistem waris Islam. Dalam sistem waris Islam, besaran bagian laki-laki dalam pembagian harta warisan adalah satu bagian, sedangkan besaran bagian perempuan dalam pembagian harta warisan adalah setengah bagian. Meskipun secara sekilas tampak tak adil, namun hak untuk menerima bagian bagi laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara. Keadilan tidak berarti harus membagi dalam jumlah yang sama, melainkan harus proporsional atau dikenal sebagai al-mizan, yaitu sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing secara seimbang.[3] Ketentuan ini harus dilaksanakan sesuai dengan nash tanpa adanya perubahan, pengurangan, atau penambahan. Penambahan dalam aspek ibadah semacam ini sering disebut sebagai bid'ah, istilah yang umum dikenal di kalangan umat Muslim.[4]  

Hingga saat ini, Indonesia menganut tiga sistem hukum waris yang berbeda. Pertama, sistem hukum adat yang mencakup aturan tentang hukum waris adat. Kedua, sistem hukum Islam yang mengatur hukum waris berdasarkan ajaran Islam. Ketiga, sistem hukum Barat yang mengatur hukum waris menurut ketentuan hukum Barat. Keberagaman sistem hukum ini didasarkan pada ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) juncto Pasal 131 IS, yang membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan: golongan Eropa, golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing.[5]  Kehadiran Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam mengatur tata cara pembagian warisan sesuai dengan ajaran Islam. Aturan tersebut kemudian berkembang menjadi tradisi yang melekat pada masyarakat, disesuaikan dengan adat dan budaya setempat.[6] Sebagai tindakan lanjutan dari lahirnya berbagai macam hukum Islam di Indonesia, dimulai dari munculnya sistem waris Islam sampai munculnya Undang-Undang mengenai perkawinan, dibentuk Peradilan Agama yang berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989  tentang Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan dalam mengadili perkara Islam. Undang-undang ini memberikan wewenang kepada pengadilan agama yang kini menangani perkara terkait hukum perkawinan, waris, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan hukum ekonomi syari'ah.[7] Dalam penjelasan umum Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama butir 2 alinea keenam dinyatakan bahwa:

Sehubungan dengan hal tersebut para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan digunakan dalam pembagian waris.

Dari penjelasan umum tersebut, para pihak yang terlibat dalam sengketa dan beragama Islam diberikan hak opsi (hak untuk memilih) dalam menyelesaikan masalah warisan. Pilihan hukum ini muncul karena adanya keragaman sistem hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum kewarisan adat, hukum kewarisan barat, dan hukum kewarisan Islam. Berdasarkan ketentuan tersebut, pihak-pihak yang bersengketa (beragama Islam) diberikan kebebasan oleh Undang-Undang untuk menentukan sistem hukum waris yang akan digunakan dalam penyelesaian pembagian harta warisan. Jika dikaitkan dengan kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang mencakup perkara kewarisan, dapat disimpulkan bahwa hak opsi memberikan kebebasan kepada pihak-pihak beragama Islam untuk memilih sistem hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian warisan. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa hak opsi dalam masalah kewarisan berarti memberikan pilihan tentang sistem hukum waris mana yang akan diterapkan untuk menyelesaikan pembagian warisan.[8]  Tentu saja ini bertentangan dengan asas ta'abuddi, karena berdasarkan asas tersebut, seorang muslim diharuskan mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt., termasuk harus mengikuti sistem waris Islam. Ichtijanto berpendapat bahwa Undang-Undang Peradilan Agama mengandung hukum iblis karena memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk tidak mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini terjadi jika pihak-pihak yang bersengketa memilih membawa perkara waris ke Pengadilan Negeri. Proses di Pengadilan Negeri secara otomatis menerapkan hukum adat atau hukum barat, sehingga mengabaikan penerapan hukum Islam.[9]  

Pengajuan tersebut dilakukan sebelum para pihak yang berperkara mengajukan perkaranya ke Pengadilan. Ketika para pihak telah mengajukan perkaranya tersebut ke salah satu badan peradilan, maka dianggap para pihak telah melakukan pilihan hukumnya terhadap badan peradilan yang telah dipilihnya itu. Mengenai pilihan hukum tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1990 yang menyatakan:

Perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang kewarisan yang juga berkaitan dengan masalah pilihan hukum, hendaknya diketahui bahwa ketentuan pilihan hukum merupakan masalah yang terletak diluar badan peradilan, dan berlaku bagi mereka atau golongan rakyat yang hukum warisnya tunduk pada hukum adat dan atau hukum Islam atau tunduk pada hukum Perdata Barat dan atau hukum Islam, dimana mereka boleh memilih hukum adat atau hukum Perdata Barat (BW) yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri atau memilih hukum Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.

Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie mengemukakan bahwa ketika dilakukan RUU-PA terdapat tiga pendapat tentang pilihan hukum. Pendapat pertama, menghendaki adanya pilihan hukum yang seluas-luasnya bagi para pencari keadilan dalam bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf dan shadaqah. Pendapat kedua, menghendaki tidak adanya pilihan hukum bagi para pencari keadilan yang beragama Islam dalam keenam bidang itu. Pendapat ketiga, menghendaki adanya pilihan hukum bagi para pencari keadilan dalam bidang kewarisan, hibah dan wasiat saja.[10] Setelah melalui perdebatan yang cukup tajam di kalangan para pembuat Undang-Undang, akhirnya disepakati bahwa untuk perkawinan, wakaf dan shadaqah Pengadilan Agama memiliki wewenang penuh/mutlak; untuk kewarisan; hibah dan wasiat terdapat pilihan hukum bagi para pencari keadilan.[11]

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No.3 Tahun 2006 dinilai banyak kalangan telah banyak membawa perubahan yang sangat signifikan, baik mengenai eksistensi struktur keberadaan Peradilan Agama dengan jajaran lembaga negara lainnya, maupun mengenai materi- materi kompetensi yang di-emban oleh Peradilan Agama. Salah satu ketentuan yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah pencabutan hak opsi dalam memilih sistem hukum waris. Konsekuensi logis berlakunya Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tersebut adalah Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut atas penyelesaian sengketa waris yang subyek hukumnya adalah orang yang beragama Islam dan semua materi hukum kewarisan akan tunduk pada materi hukum yang ada di lingkungan Peradilan Agama.[12] Penjelasan umum angka 1 alinea 2 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum UU Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan:

"Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.

Sebab apabila ditinjau dari segi pendekatan hukum Islam pemberian hak opsi itu kurang dapat dibenarkan, sebab seolah-olah membuka pintu bagi penganut agama Islam untuk meninggalkan hukum waris Islam dan lebih mengutamakan nilai-nilai hukum waris asing, sehingga sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, hak opsi dalam pemilihan sistem waris sudah dihapus, dan seseorang yang beragama Islam wajib menyelesaikan perkara warisan di Pengadilan Agama. Penghapusan hak opsi ini secara filosofis merupakan penerapan dari salah satu asas hukum waris Islam, yaitu asas ta'abbudi. Sebagaimana yang telah dijelaskan, asas ta'abbudi merujuk pada aturan-aturan hukum yang bersumber dari nash (Al-Qur'an dan Hadits) yang harus diterima secara utuh oleh manusia dan dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang ada. Ketentuan ini bersifat mutlak, sehingga tidak memerlukan penalaran lebih lanjut, tidak dapat dinegosiasikan, serta tidak boleh diubah, dikurangi, atau ditambah. Tugas manusia adalah melaksanakan ketentuan tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam nash.[13] Seperti halnya dalam pembagian waris, seorang muslim sudah seharusnya memilih sistem waris Islam sebagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, apabila seorang muslim memilih hukum selain hukum Allah dan Rasulullah saw. dianggap telah menghambakan diri kepada selain Allah dan mengingkari syari'at Islam.[14] Dengan demikian implementasi asas ta'abbudi dalam sistem kewarisan Islam di Indonesia sudah terlaksana berkat dirubahnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, meskipun pada awalnya asas ta'abbudi belum terlaksana karena munculnya hak opsi dalam pemilihan sistem waris dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. 

Dapat disimpulkan bahwasanya pada awalnya asas ta'abbudi belum terlaksana pada sistem kewarisan Islam di Indonesia karena munculnya hak opsi dalam pemilihan sistem waris dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yaitu sistem waris adat, sistem waris Islam, dan sistem waris barat. Namun, hak opsi ini dihapus dengan munculnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berkat penghapusan hak opsi dalam pemilihan sistem waris ini, asas ta'abbudi menjadi terlaksana dalam sistem kewarisan Islam di Indonesia dan seseorang yang beragama Islam wajib menyelesaikan perkara warisan di Pengadilan Agama sebagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline